Minggu, 25 Maret 2012


Angka Kematian Bayi Baru Lahir (AKBBL) di Indonesia mencapai 35/1.000 kelahiran hidup atau dua kali lebih besar dari target WHO sebesar 15/1.000 kelahiran hidup (Supari, 2007). Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga (SKRT) 200, penyebab langsung kematian bayi baru lahir diindonesia diantaranya afiksia (27%), tetanus neonatorum (10%), masalah pemberian makanan (10%), ganguan hematologic (6%), infeki (5%) dan lain-lain (13%). supari 2007.
Dalam mengurangi hari rawatan pasien, mencegah kekambuhan , meningkatkan perkembangan kondisi kesehatan pasien dan menurunkan beban perawatan pada keluarga dapat dilakukan  melalui discharge planing (Naylor, 1990).
Materi serta tahapan yang harus dilakukan dalam discharge planning yaitu :
1.       Perencanaan pemulangan sejak awal klien masuk RS.
2.       Tindakan untuk mempersiapkan klien yang dilakukan sebelum hari pemulangan.
3.       Tindakan yang dilakukan pada hari pemulangan pasien.
Untuk menghindari kebiasaan yang salah selama dirumah  dalam memberikan asuhan keperawatan, maka seorang perawat harus memberikan Discharge planning,  kepada Seorang Ibu yang sangat berperan pada Bayi baru lahir.
Bayi Baru Lahir  atau Neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Discharge planning diberikan untuk bisa menambah pengetahuan ibu  merawat anaknya .
Allah Swt berfirman dalam QS Al-Baqarah (2) ayat 233 :
“Dan para ibu hendaklah menyusui anak-anak mereka dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya…”
Seorang perawat harus bisa memahami bahwa pasien dan keluarga yang berada disuatu rumah sakit mempunyai  latar belakang yang berbeda-beda, mulai dari pendidikan, sosial ekonomi dan agama yang berbeda. Maka asuhan keperawatan yang merupakan proses untuk meningkatkan derajat pelayanan dalam memuaskan klien maupun keluaraga harus di berikan sejak pasien berada diinstansi Kesehatan., diperlukan bantuan petugas kesehatan untuk memberikan  pengarahan yang tepat pada Ibu Bayi baru lahir melalui discharge planing .
Misalnya: memandikan, merawat tali pusar, mengkaji  kondisi umum bayi, pemberian ASI, misalnya bayi tidak mau menyusu, cara bayi menangis, berapa kali buang air kecil, perhatikan warna kulit bayi apakah ada ikterus atau tidak, perhatikan apakah bayi menyusu dengan baik, tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif sedikitnya 4 sampai 6 bulan, bahaya pemberian unsur makanan tambahan sebelum bayi berumur 4 bulan,  ibu jangan memberikan sesuatu apapun pada tali pusat bayi, jika ada kemerahan pada pusat, perdarahan atau tercium bau busuk, bayi segera dirujuk. tanda-tanda bahaya pada bayi catat dengan tepat semua data yang ditemukan.  Jika bayi meninggal penyebab kematian harus diketahui sesuai dengan standar kabupaten/pronfnsi/nasional. Sehingga apabila terjadi dan dihadapkan pada  suatu masalah ibu bisa menangani nya terlebih dahulu.
 Hubungan ibu dan bayi baru lahir normal sangat rawan. Menurut Dep. Kes. RI, (2005) Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dengan umur kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu dan berat lahir 2500 gram sampai 4000 gram .Karena kegagalan relasi pada masa ini akan memberi dampak pada tahap berikutnya. Kebutuhan psikologi fase ini melipurti tiga hal penting yaitu seeing (memandang), touching (sentuhan), dan caretaking (merawat dengan perhatian seluruh emosinya).
Pada surat Lukman ayat 14.
  Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu- bapaknya ; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang Ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Oleh sebab memperisapkan ibu dalam merawat anak saat dirumah  serta dapat ikut berpartisipasi dalam menerapkan keterampilan nya sebagai seorang ibu untuk perawatan pada anaknya sendiri. Hasil penelitian Shepperd ,et al (2004) menunjukan bahawa kepuasaan klien yang diberikan discharge planning meningkat dibandingkan dengan klien yang menerima kepulanggan rutin. Maka kerjasama antara ibu (keluarga) dengan Petugas kesehatan mutlak diperlukan.


catatan : ini dimbil dari beberapa artikel maupun blog yang tersedia di google .. trimakasih atas ilmunya :)

kk
Keperawatan Maternitas

Post partum adalah masa nifas mulai setelah partus selesai, dan berakhir setelah kira-kira 6 minggu,akan tetapi seluruh alat genital baru pulih kembal iseperti sebelum kehamilan dalam waktu 3 bulan.(Prawiroraharjo, 2000) Post partum / puerperium adalah masa dimana tubuh menyesuaikan, baik fisik maupun psikososial terhadap proses melahirkan. Dimulai segera setelah bersalin sampai tubuh menyesuaikan secara sempurna dan kembali mendekati keadaan sebelum hamil ( 6 minggu ).
Masa post partum dibagi dalam tiga tahap : Immediate post partum dalam 24 jam pertama, Early post partum period (minggu pertama) dan Late post partum period (minggu kedua sampai minggu ke enam)

Nifas dibagi dalam 3 periode :
1.    Puerperium dini yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan. Dalam agama Islam, dianggap telah bersih dan boleh bekerja setelah 40 hari.
2.      Puerperium Intermedial yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang lamanya 6 – 8 minggu.
3.     Remute Puerperium adalah waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna bila berminggu-minggu bulanan atau tahan.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada kedua mammae antara lain sebagai berikut :
1.      Proliferasi jaringan, terutama kelenjar-kelenjar dan alveolis mammae dan lemak.
2.      Pada duktus laktiferus terdapat cairan yang kadang-kadang dikeluarkan berwarna kuning (kolostrum).
3.      Hipervaskularisasi terdapat pada permukaan maupun pada bagian dalam mammae. Pembuluh-pembuluh vena berdilatsi dan tampak dengan jelas.
4.      Setelah partus, pengaruh menekan dari estrogen dan progesteron terhadap hipofisis hilang. Timbul pengaruh hormon-hormon hipofisis kembali, antara lain hormon laktogenik (prolaktin) yang akan menyebabkan kelenjar-kelenjar susu berkontraksi sehingga terjadi pengeluaran air susu.
Umumnya produksi air susu baru berlangsung benar pada hari ke-2 sampai ke-3 postpartum, selain pengaruh hormonal tersebut, salah satu rangsangan terbaik untuk mengeluarkan air susu adalah dengan menyusui bayi itu sendiri.

1.    Lochia adalah cairan sekret yang berasal dari kavum uteri dan vagina dalam masa nifas.
2.    Lochia rubra (cruenta) : berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua, verniks kaseosa, lanugo, dan mekonium, selama 2 hari pasca persalinan.
3.    Lochia sanguinolenta : berwarna merah kuning berisi darah dan lendir, hari ke 3 – 7 pasca persalinan.
4.    Lochia serosa : berwarna kuning, cairan tidak berdarah lagi, pada hari 7 – 14 pasca persalinan.
5.    Lochia purulenta : terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau busuk.
6.    Lochia statis : lochia tidak lancar keluarnya

B.     Perdarahan Post Partum

1.    Perdarahan pasca persalinan atau perdarahan post partum adalah perdarahan melebihi 500 ml yang terjadi setelah bayi lahir.
Klasifikasi perdarahan postpartum :
a)    Perdarahan post partum primer / dini  (early postpartum hemarrhage), yaitu perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utamanya adalah atonia uteri, retention plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan lahir. Banyaknya terjadi pada 2 jam pertama
b)   Perdarahan Post Partum Sekunder / lambat (late postpartum hemorrhage), yaitu-perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pertama

2.    Faktor-Faktor
Beberapa kondisi selama hamil dan bersalin dapat merupakan faktor predisposisi terjadinya perdarahan paska persalinan, keadaan tersebut ditambah lagi dengan tidak maksimalnya kondisi kesehatannya dan nutrisi ibu selama hamil. Oleh karena itu faktor-faktor haruslah diketahui sejak awal dan diantisipasi pada waktu persalinan :
1. Trauma persalinan
Setiap tindakan yang akan dilakukan selama proses persalianan harus diikuti dengan pemeriksaan jalan lahir agar diketahui adanya robekan pada jalan lahir dan segera dilakukan penjahitan dengan benar.
2. Atonia Uterus
Pada kasus yang diduga berisiko tinggi terjadinya atonia uteri harus diantisipasi dengan pemasangan infus. Demikian juga harus disiapkan obat uterotonika serta pertolongan persalinan kala III dengan baik dan benar.
3. Jumlah darah sedikit
Keadaan ini perlu dipertimbangkan pada kasus keadaan itu jelek, hipertensi saat hamil, pre eklampsia dan eklamsi.
4. Kelainan pembekuan darah
Meskipun jarang tetapi bila terjadi sering berakibat fatal, sehingga perlu diantisipasi dengan hati-hati dan seksama.

3.     Patofisiologi
Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus masih terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum spongiosum sehingga sinus-sinus maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka.
Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan retraksi dan kontraksi otot uterus, akan menghambat penutupan pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama penyebab perdarahan paska persalinan. Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan seperti robekan servix, vagina dan perinium.
4. Etiologi perdarahan postpartum dini :
1. Atonia uteri
Faktor predisposisi terjadinya atoni uteri adalah :
  • Umur yang terlalu muda / tua
  • Prioritas sering di jumpai pada multipara dan grande mutipara
  • Partus lama dan partus terlantar
  • Uterus terlalu regang dan besar misal pada gemelli, hidromnion / janin besar
  • Kelainan pada uterus seperti mioma uteri, uterus couveloair pada solusio  plasenta
  • Faktor sosial ekonomi yaitu malnutrisi
2. Laserasi  Jalan lahir : robekan perineum, vagina serviks, forniks dan rahim. Dapat menimbulkan perdarahan yang banyak apabila tidak segera di reparasi.
3. Hematoma
Hematoma yang biasanya terdapat pada daerah-daerah yang mengalami laserasi atau pada daerah jahitan perineum.
4. Lain-lain
Sisa plasenta atau selaput janin yang menghalangi kontraksi uterus, sehingga masih ada pembuluh darah yang tetap terbuka, Ruptura uteri, Inversio uteri.  

5.    Etiologi perdarahan postpartum lambat :
  1. Tertinggalnya sebagian plasenta
  2. Subinvolusi di daerah insersi plasenta
  3. Dari luka bekas seksio sesaria
6.     penanganan umum pada perdarahan post partum :10
  • Ketahui dengan pasti kondisi pasien sejak awal (saat masuk)
  • Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman (termasuk upaya pencegahan perdarahan pasca persalinan)
  • Lakukan observasi melekat pada 2 jam pertama pasca persalinan (di ruang persalinan) dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya (di ruang rawat gabung).
  • Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
  • Segera lakukan penlilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan masalah dan komplikasi
  • Atasi syok
  • Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah, lakukam pijatan uterus, berikan uterotonika 10 IU IM dilanjutkan infus 20 IU dalam 500cc NS/RL dengan 40 tetesan permenit.
  • Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan robekan jalan lahir.
  • Bila perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
  • Pasang kateter tetap dan lakukan pemantauan input-output cairan
  • Cari penyebab perdarahan dan lakukan penangan spesifik.
Penatalaksanaan khusus
a. Atonia uteri
 Kenali dan tegakan kerja atonia uteri
v
 Sambil melakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan pengurutan uterus
v
 Pastikan plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi jalan lahir
v
 Lakukan tindakan spesifik yang diperlukan :
v
 Kompresi bimanual eksternal yaitu menekan uterus melalui dinding
v abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uteus. Bila perdarahan berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitas kesehata rujukan.
 Kompresi bimanual internal yaitu uterus ditekan diantara telapak
v tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjempit pembuluh darah didalam miometrium.
 Kompresi aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis dengan ujung
v jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis, penekanan yang tepat akan menghetikan atau mengurangi, denyut arteri femoralis.

b. Retensio plasenta dengan separasi parsial
 Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil.
 Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengejan, bila ekspulsi tidak terjadi cobakan traksi terkontrol tali pusat.
 Pasang infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL dengan tetesan
v 40/menit, bila perlu kombinasikan dengan misoprostol 400mg per rektal.
 Bila traksi terkontrol gagal melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus.
 Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.
 Lakukan transfusi darah bila diperlukan.
 Berikan antibiotik profilaksis ( ampicilin 2 gr IV/oral + metronidazole 1 g supp/oral ).

c. Plasenta inkaserata
 Tentukan diagnosis kerja
v
 Siapkan peralatan dan bahan untuk menghilangkan kontriksi serviks yang
v kuat, tetapi siapkan infus fluothane atau eter untuk menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus oksitosin 20 Untuk500 NS atau RL untuk mengantisipasi gangguan kontraksi uterus yang mungkin timbul.
 Bila bahan anestesi tidak tersedia, lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta.
 Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak jelas.
 Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan 8 dan lepaskan spekulum
 Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak jelas.
 Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta disisi
v berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin, minta asisten untuk memegang klem tersebut.
 Lakukan hal yang sama pada plasenta kontra lateral
 Satukan kedua klem tersebut, kemudian sambil diputar searah jarum jam tarik plasenta keluar perlahan-lahan.

d. Ruptur uteri
 Berikan segera cairan isotonik ( RL/NS) 500 cc dalam 15-20 menit dan siapkan laparatomi
 Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta, fasilitas pelayanan kesehatan dasar harus merujuk pasien ke rumah sakit rujukan
 Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan memungkinkan, lakukan operasi uterus
 Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien mengkwatirkan lakukan histerektomi
 Lakukan bilasan peritonial dan pasang drain dari cavum abdomen
 Antibiotik dan serum anti tetanus, bila ada tanda-tanda infeksi.

e. Sisa plasenta
 Penemuan secara dini, dengan memeriksa kelengkapan plasenta setelah dilahirkan
v
 Berika antibiotika karena kemungkinan ada endometriosis
v
 Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan mengeluarkan
v bekuan darah atau jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuret.
 Hb 8 gr% berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600mg/hari selama 10 hari.
v

f. Ruptur peritonium dan robekan dinding vagina
 Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan
 Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
 Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap
 Lakukan penjahitan luka dari bagian yang paling distal
 Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sebagai berikut :
 Setelah prosedur aseptik- antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung robekan
 Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul sub mukosa, menggunakan benang polyglikolik No 2/0 ( deton/vierge ) hingga ke sfinter ani, jepit kedua sfinter ani dengan klem dan jahit dengan benang no 2/0.
 Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa dengan benang yang sama ( atau kromik 2/0 ) secara jelujur.
 Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara sub mukosa dan sub kutikuler
 Berikan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor berikan antibiotika untuk terapi.

g. Robekan serviks
 Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang terjulur akan
v mengalami robekan pada posisi spina ishiadika tertekan oleh kepala bayi.
 Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi  perdarahan banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan porsio
 Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga  perdarahan dapat segera di hentikan, jika setelah eksploitasi lanjutkan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan, jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian kearah luar sehingga semua robekan dapat dijahit
 Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan paska tindakan
 Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi
 Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila kadar Hb dibawah 8 gr% berikan transfusi darah

ASUHAN PADA IBU POST PARTUM
I. Pengumpulan Data Dasar
Pengkajian Anamnesa pada tanggal 29 Maret 2012
B. Alasan Kunjungan Saat Ini
1. Ibu mengatakan hamil anak kedua, atas kiriman bida dengan perdarahan dari jalan lahir setelah melahirkan , keluar darah banyak dari jalan lahir dan pasien tampak lemah
2. Riwayat Menstruasi
Menarche : 14 Tahun
Siklus : teratur
Lamanya : 7 Hari
Banyaknya : 2  kali ganti pembalut
disminore : -
Riwayat infeksi  : -
Tumor :-
Riwayat KB suntik selama 1 tahun
Keputihan normal terjadi sebelum mens tanpa bau ataupun gatal
3. Riwayat Perkawinan
Kawin : 1 Kali
Usia kawin pertama : 2 Tahun
Lama perkawinan : 2 Tahun
4. Riwayat Sekarang
a. Keluhan : Ibu  Kondisi : lemah, kesadaran: somnolen. Tekanana darah : 90/60. Nadi: 68x/menit : suhu : 36 , pernapasana : 20x/menit . palpasi abdomen : TFU 2 jari dibawah pusat . 
Pemeriksaan genekologi : perdarahan pervaginan (+) merah segar, vagina toucher : diding vagina licin portio tebal lunak , pembukaan 2 jari sempit , teraba sisa kotiledon , sarung tangan darah ada.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antar lain pemeriksaan darah dan didapatkan hasil anemia dengan Hb 7,8 g/dl , golongan darah A, dan pemeriksaan HBSAg negative
I. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan b/d perdarahan pervaginam
2. Gangguan perfusi jaringan b/d perdarahan pervaginam
3. Cemas/ketakutan b/d perubahan keadaan atau ancaman kematian
4. Resiko infeksi b/d perdarahan
5. Resiko shock hipovolemik b/d perdarahan.

II Rencana tindakan keperawatan
1. Kekurangan volume cairan b/d perdarahan pervaginam
Tujuan : Mencegah disfungsional bleeding dan memperbaiki volume cairan
Rencana tindakan :
1. Tidurkan pasien dengan posisi kaki lebih tinggi sedangkan badannya tetap terlentang
R/ Dengan kaki lebih tinggi akan meningkatkan venous return dan memungkinkan darah keotak dan organ lain.
2. Monitor tanda vital
R/ Perubahan tanda vital terjadi bila perdarahan semakin hebat
3. Monitor intake dan output setiap 5-10 menit
R/ Perubahan output merupakan tanda adanya gangguan fungsi ginjal
4. Evaluasi kandung kencing
R/ Kandung kencing yang penuh menghalangi kontraksi uterus
5. Lakukan masage uterus dengan satu tangan serta tangan lainnya diletakan diatas simpisis.
R/ Massage uterus merangsang kontraksi uterus dan membantu pelepasan placenta, satu tangan diatas simpisis mencegah terjadinya inversio uteri
6. Batasi pemeriksaan vagina dan rektum
R/ Trauma yang terjadi pada daerah vagina serta rektum meningkatkan terjadinya perdarahan yang lebih hebat, bila terjadi laserasi pada serviks / perineum atau terdapat hematom
Bila tekanan darah semakin turun, denyut nadi makin lemah, kecil dan cepat, pasien merasa mengantuk, perdarahan semakin hebat, segera kolaborasi.
7. Berikan infus atau cairan intravena
R/ Cairan intravena dapat meningkatkan volume intravaskular
8. Berikan uterotonika ( bila perdarahan karena atonia uteri )
R/ Uterotonika merangsang kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan
9. Berikan antibiotik
R/ Antibiotik mencegah infeksi yang mungkin terjadi karena perdarahan
10. Berikan transfusi whole blood ( bila perlu )
R/ Whole blood membantu menormalkan volume cairan tubuh.

2. Gangguan perfusi jaringan b/d perdarahan pervaginam
Tujuan: Tanda vital dan gas darah dalam batas normal
Rencana keperawatan :
1. Monitor tanda vital tiap 5-10 menit
R/ Perubahan perfusi jaringan menimbulkan perubahan pada tanda vital
2. Catat perubahan warna kuku, mukosa bibir, gusi dan lidah, suhu kulit
R/ Dengan vasokontriksi dan hubungan keorgan vital, sirkulasi di jaingan perifer berkurang sehingga menimbulkan cyanosis dan suhu kulit yang dingin
3. Kaji ada / tidak adanya produksi ASI
R/ Perfusi yang jelek menghambat produksi prolaktin dimana diperlukan dalam produksi ASI
4. Tindakan kolaborasi :
 Monitor kadar gas darah dan PH ( perubahan kadar gas darah dan PH merupakan tanda hipoksia jaringan )
v
 Berikan terapi oksigen ( Oksigen diperlukan untuk memaksimalkan transportasi sirkulasi jaringan ).
v

3. Cemas/ketakutan berhubungan dengan perubahan keadaan atau ancaman kematian
Tujuan : Klien dapat mengungkapkan secara verbal rasa cemasnya dan mengatakan perasaan cemas berkurang atau hilang.
Rencana tindakan :
1. Kaji respon psikologis klien terhadap perdarahan paska persalinan
R/ Persepsi klien mempengaruhi intensitas cemasnya
2. Kaji respon fisiologis klien ( takikardia, takipnea, gemetar )
R/ Perubahan tanda vital menimbulkan perubahan pada respon fisiologis
3. Perlakukan pasien secara kalem, empati, serta sikap mendukung
R/ Memberikan dukungan emosi
4. Berikan informasi tentang perawatan dan pengobatan
R/ Informasi yang akurat dapat mengurangi cemas dan takut yang tidak diketahui
5. Bantu klien mengidentifikasi rasa cemasnya
R/ Ungkapan perasaan dapat mengurangi cemas
6. Kaji mekanisme koping yang digunakan klien
R/ Cemas yang berkepanjangan dapat dicegah dengan mekanisme koping yang tepat.

4. Resiko infeksi sehubungan dengan perdarahan
Tujuan : Tidak terjadi infeksi ( lokea tidak berbau dan TV dalam batas normal )
Rencana tindakan :
1. Catat perubahan tanda vital
R/ Perubahan tanda vital ( suhu ) merupakan indikasi terjadinya infeksi
2. Catat adanya tanda lemas, kedinginan, anoreksia, kontraksi uterus yang lembek, dan nyeri panggul
R/ Tanda-tanda tersebut merupakan indikasi terjadinya bakterimia, shock yang tidak terdeteksi
3. Monitor involusi uterus dan pengeluaran lochea
R/ Infeksi uterus menghambat involusi dan terjadi pengeluaran lokea yang berkepanjangan
4. Perhatikan kemungkinan infeksi di tempat lain, misalnya infeksi saluran nafas, mastitis dan saluran kencing
R/ Infeksi di tempat lain memperburuk keadaan
5. Berikan perawatan perineal,dan pertahankan agar pembalut
jangan sampai terlalu basah
R/ pembalut yang terlalu basah menyebabkan kulit iritasi dan
dapat menjadi media untuk pertumbuhan bakteri,peningkatan
resiko infeksi.
6. Tindakan kolaborasi
• Berikan zat besi ( Anemi memperberat keadaan )
• Beri antibiotika ( Pemberian antibiotika yang tepat diperlukan untuk keadaan infeksi ).

5.Resiko shock hipovolemik s/d perdarahan.
Tujuan: Tidak terjadi shock(tidak terjadi penurunan kesadaran
dan tanda-tanda dalam batas normal)
Rencana tindakan :
1. Anjurkan pasien untuk banyak minum
R/ Peningkatan intake cairan dapat meningkatkan volume intravascular sehingga dapat meningkatkan volume intravascular yang dapat meningkatkan perfusi jaringan.
2. Observasitanda-tandavital tiap 4 jam R/ Perubahan tanda-tanda vital dapat merupakan indikator terjadinya dehidrasi secara dini.
3. Observasi terhadap tanda-tanda dehidrasi. R/ Dehidrasi merupakan terjadinya shock bila dehidrasi tidak ditangani secara baik.
4. Observasi intake cairan dan output R/ Intake cairan yang adekuat dapat menyeimbangi pengeluaran cairan yang berlebihan.
5. Kolaborasi dalam : - Pemberian cairan infus / transfusi
R/ Cairan intravena dapat meningkatkan volume intravaskular yang dapat meningkatkan perfusi jaringan sehingga dapat mencegah terjadinya shock - Pemberian koagulantia dan uterotonika R/ Koagulan membantu dalam proses pembekuan darah dan uterotonika merangsang kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan.

III. Evaluasi
Semua tindakan yang dilakukan diharapkan memberikan hasil :
• Tanda vital dalam batas normal :
a. Tekanan darah : 110/70-120/80 mmHg
b. Denyut nadi : 70-80 x/menit
c. Pernafasan : 20 – 24 x/menit
d. Suhu : 36 – 37 oc
• Kadar Hb : Lebih atau sama dengan 10 g/dl
• Gas darah dalam batas normal
• Klien dan keluarganya mengekspresikan bahwa dia mengerti tentang komplikasi dan pengobatan yang dilakukan
• Klien dan keluarganya menunjukkan kemampuannya dalam mengungkapkan perasaan psikologis dan emosinya
• Klien dapat melakukan aktifitasnya sehari-hari
• Klien tidak merasa nyeri


catatan : ini dimbil dari beberapa artikel maupun blog yang tersedia di google .. trimakasih atas ilmunya :)

Kozier et. al (2004) menjelaskan kerangka pemecahan dilema etik sebagai berikut :
  1. Mengembangkan data dasar
  2. Mengidentifikasi konflik
  3. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
  4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat
  5. Mendefinisikan kewajiban perawat
  6. Membuat keputusan
PEMECAHAN KASUS DILEMA ETIK
1. Mengembangkan data dasar :
a. Orang yang terlibat : Klien, keluarga klien, dokter, dan perawat
b.Tindakan yang diusulkan : tidak menuruti keinginan klien untuk memberikan penambahan dosis morphin.
c.Maksud dari tindakan tersebut : agar tidak membahayakan diri klien
d.Konsekuensi tindakan yang diusulkan, bila tidak diberikan penambahan dosis morphin, klien dan keluarganya menyalahkan perawat dan apabila keluarga klien kecewa terhadap pelayanan di bangsal mereka bisa menuntut ke rumah sakit.
2. Mengidentifikasi konflik akibat situasi tersebut :
Penderitaan klien dengan kanker payudara yang sudah mengalami metastase mengeluh nyeri yang tidak berkurang dengan dosis morphin yang telah ditetapkan. Klien meminta penambahan dosis pemberian morphin untuk mengurangi keluhan nyerinya. Keluarga mendukung keinginan klien agar terbebas dari keluhan nyeri. Konflik yang terjadi adalah :
a.Penambahan dosis pemberian morphin dapat mempercepat kematian klien.
b.Tidak memenuhi keinginan klien terkait dengan pelanggaran hak klien.
3.Tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan konsekuensi tindakan tersebut
a. Tidak menuruti keinginan pasien tentang penambahan dosis obat pengurang nyeri.
Konsekuensi :
1)Tidak mempercepat kematian klien
2)Keluhan nyeri pada klien akan tetap berlangsung
3)Pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri
4)Keluarga dan pasien cemas dengan situasi tersebut
b. Tidak menuruti keinginan klien, dan perawat membantu untuk manajemen nyeri.
Konsekuensi :
1)Tidak mempercepat kematian pasien
2)Klien dibawa pada kondisi untuk beradaptasi pada nyerinya (meningkatkan ambang nyeri)
3)Keinginan klien untuk menentukan nasibnya sendiri tidak terpenuhi
c. Menuruti keinginan klien untuk menambah dosis morphin namun tidak sering dan apabila diperlukan. Artinya penambahan diberikan kadang-kadang pada saat tertentu misalnya pada malam hari agar klien bisa tidur cukup.
Konsekuensi :
1) Risiko mempercepat kematian klien sedikit dapat dikurangi
2) Klien pada saat tertentu bisa merasakan terbebas dari nyeri sehingga ia dapat cukup beristirahat.
3) Hak klien sebagian dapat terpenuhi.
4) Kecemasan pada klien dan keluarganya dapat sedikit dikurangi.
4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat :
Pada kasus di atas dokter adalah pihak yang membuat keputusan, karena dokterlah yang secara legal dapat memberikan ijin penambahan dosis morphin. Namun hal ini perlu didiskusikan dengan klien dan keluarganya mengenai efek samping yang dapat ditimbulkan dari penambahan dosis tersebut. Perawat membantu klien dan keluarga klien dalam membuat keputusan bagi dirinya. Perawat selalu mendampingi pasien dan terlibat langsung dalam asuhan keperawatan yang dapat mengobservasi mengenai respon nyeri, kontrol emosi dan mekanisme koping klien, mengajarkan manajemen nyeri, sistem dukungan dari keluarga, dan lain-lain.
5. Mendefinisikan kewajiban perawat
a.Memfasilitasi klien dalam manajemen nyeri
b.Membantu proses adaptasi klien terhadap nyeri / meningkatkan ambang nyeri
c.Mengoptimalkan sistem dukungan
d.Membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah yang sedang dihadapi
e.Membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinannya
6. Membuat keputusan
Dalam kasus di atas terdapat dua tindakan yang memiliki risiko dan konsekuensi masing-masing terhadap klien. Perawat dan dokter perlu mempertimbangkan pendekatan yang paling menguntungkan / paling tepat untuk klien. Namun upaya alternatif tindakan lain perlu dilakukan terlebih dahulu misalnya manajemen nyeri (relaksasi, pengalihan perhatian, atau meditasi) dan kemudian dievaluasi efektifitasnya. Apabila terbukti efektif diteruskan namun apabila alternatif tindakan tidak efektif maka keputusan yang sudah ditetapkan antara petugas kesehatan dan klien/ keluarganya akan dilaksanakan.

DISKUSI :

Suatu intervensi medis yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan klien namun dapat mengakibatkan kematian klien atau membantu pasien bunuh diri disebut sebagai euthanasia aktif. Di Indonesia hal ini tidak dibenarkan menurut undang-undang, karena tujuan dari euthanasia aktif adalah mempermudah kematian klien. Sedangkan euthanasia pasif bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan klien namun membiarkannya dapat berdampak pada kondisi klien yang lebih berat bahkan memiliki konsekuensi untuk mempercepat kematian klien. Walaupun sebagian besar nyeri pada kanker dapat ditatalaksanakan oleh petugas kesehatan profesional yang telah dilatih dengan manajemen nyeri, namun hal tersebut tidak dapat membantu sepenuhnya pada penderitaan klien tertentu. Upaya untuk mengurangi penderitaan nyeri klien mungkin akan mempercepat kematiannya, namun tujuan utama dari tindakan adalah untuk mengurangi nyeri dan penderitaan klien.

PRINSIP LEGAL DAN ETIK :
  1. Euthanasia (Yunani : kematian yang baik) dapat diklasifikasikan menjadi aktif atau pasif. Euthanasia aktif merupakan tindakan yang disengaja untuk menyebabkan kematian seseorang. Euthanasia pasif merupakan tindakan mengurangi ketetapan dosis pengobatan, penghilangan pengobatan sama sekali atau tindakan pendukung kehidupan lainnya yang dapat mempercepat kematian seseorang. Batas kedua tindakan tersebut kabur bahkan seringkali merupakan yang tidak relevan.
  2. Menurut teori mengenai tindakan yang mengakibatkan dua efek yang berbeda, diperbolehkan untuk menaikkan derajat/dosis pengobatan untuk mengurangi penderitaan nyeri klien sekalipun hal tersebut memiliki efek sekunder untuk mempercepat kematiannya.
  3. Prinsip kemanfaatan (beneficence) dan tidak merugikan orang lain (non maleficence) dapat dipertimbangkan dalam kasus ini. Mengurangi rasa nyeri klien merupakan tindakan yang bermanfaat, namun peningkatan dosis yang mempercepat kematian klien dapat dipandang sebagai tindakan yang berbahaya. Tidak melakukan tindakan adekuat untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat membahayakan klien, dan tidak mempercepat kematian klien merupakan tindakan yang tepat (doing good).
4.        Norma-norma dalam etika kesehatan dibentuk oleh kelompok profesi tenaga kesehatan itu sendiri, yang bila dihimpun (dikodifikasikan) sering disebut  sebagai kode etik. Kode etik keperawatan  merupakan  suatu  pernyataan  komprehensif  dari  profesi yang memberikan tuntunan bagi anggotanya dalam melaksanakan praktek keperawatan, baik yang berhubungan dengan pasien, masyarakat, teman sejawat dan diri sendiri. Dengan kata lain pengertian kode etik perawat yaitu   suatu pernyataan / keyakinan publik yang mengungkapkan kepedulian moral, nilai dan tujuan keperawatan, yang bertujuan untuk memberikan alasan terhadap  keputusan-keputusan etika. Kode  etik  diorganisasikan  dalam   nilai  moral  yang  merupakan   pusat  bagi  praktik keperawatan yang etika, semuanya bermuara dalam hubungan profesional perawat dengan klien dan menunjukan apa yang diperdulikan perawat dalam hubungan tersebut.

5.        Nilai-nilai moral tersebut adalah: Prinsip Penghargaan (respek) terhadap orang, dari prinsip penghargaan timbul prinsip otonomi yang berkenaan dengan hak orang.untuk memilih bagi diri mereka sendiri, apa yang menurut pemikiran mereka adalah yang terbaik bagi dirinya, selanjutnya kemurahan hati (Benefiecence) merupakan prinsip untuk melakukan yang baik dan tidak merugikan/bahaya orang lain. Prinsip Veracity merupakan suatu kewajiban untuk mengatakan yang sebenarnya atau untuk tidak membohongi orang lain. Prinsip confidentiality (kerahasiaan), berarti perawat menghargai semua informasi tentang klien merupakan hak istimewa pasien dan tidak untuk disebarkan secara tidak tepat. Fidelity / kesetiaan, berarti perawat berkewajiban untuk setia dengan kesepakatan dan tanggung jawab yang telah dibuat, meliputi menepati janji, menyimpan rahasia serta "Carring". Prinsip Justice (keadilan), merupakan suatu prinsip moral untuk berlaku adil untuk semua individu.

Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau suatu situasi dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan sebanding. Dalam dilema etik tidak ada yang benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang etis, seseorang harus tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional

Langkah-langkah penyelesaian masalah / dilema etik

Langkah penyelesaian dilema etik menurut Tappen (2005) adalah :
a. Pengkajian
Hal pertama yang perlu diketahui perawat adalah “adakah saya terlibat langsung dalam dilema?”. Perawat perlu mendengar kedua sisi dengan menjadi pendengar yang berempati. Target tahap ini adalah terkumpulnya data dari seluruh pengambil keputusan, dengan bantuan pertanyaan yaitu :
1. Apa yang menjadi fakta medik ?
2. Apa yang menjadi fakta psikososial ?
3. Apa yang menjadi keinginan klien ?
4. Apa nilai yang menjadi konflik ?
b. Perencanaan
Untuk merencanakan dengan tepat dan berhasil, setiap orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan harus masuk dalam proses. Thomson and Thomson (1985) mendaftarkan 3 (tiga) hal yang sangat spesifik namun terintegrasi dalam perencanaan, yaitu :
1. Tentukan tujuan dari treatment.
2. Identifikasi pembuat keputusan
3. Daftarkan dan beri bobot seluruh opsi / pilihan.
c. Implementasi
Selama implementasi, klien/keluarganya yang menjadi pengambil keputusan beserta anggota tim kesehatan terlibat mencari kesepakatan putusan yang dapat diterima dan saling menguntungkan. Harus terjadi komunikasi terbuka dan kadang diperlukan bernegosiasi. Peran perawat selama implementasi adalah menjaga agar komunikasi tak memburuk, karena dilema etis seringkali menimbulkan efek emosional seperti rasa bersalah, sedih / berduka, marah, dan emosi kuat yang lain. Pengaruh perasaan ini dapat menyebabkan kegagalan komunikasi pada para pengambil keputusan. Perawat harus ingat “Saya disini untuk melakukan yang terbaik bagi klien”.
Perawat harus menyadari bahwa dalam dilema etik tak selalu ada 2 (dua) alternatif yang menarik, tetapi kadang terdapat alternatif tak menarik, bahkan tak mengenakkan. Sekali tercapai kesepakatan, pengambil keputusan harus menjalankannya. Kadangkala kesepakatan tak tercapai karena semua pihak tak dapat didamaikan dari konflik sistem dan nilai. Atau lain waktu, perawat tak dapat menangkap perhatian utama klien. Seringkali klien / keluarga mengajukan permintaan yang sulit dipenuhi, dan di dalam situasi lain permintaan klien dapat dihormati.
d. Evaluasi
Tujuan dari evaluasi adalah terselesaikannya dilema etis seperti yang ditentukan sebagai outcome-nya. Perubahan status klien, kemungkinan treatment medik, dan fakta sosial dapat dipakai untuk mengevaluasi ulang situasi dan akibat treatment perlu untuk dirubah. Komunikasi diantara para pengambil keputusan masih harus dipelihara.



catatan : ini dimbil dari beberapa artikel maupun blog yang tersedia di google .. trimakasih atas ilmunya :)


1. HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. Virus ini menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh manusia, seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel dendritik. HIV merusak sel T4 CD4+ secara langsung dan tidak langsung, sel T4 CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun.
Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi tempat berkembang biak Virus HIV baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak memiliki pelindung. Dampaknya adalah kita dapat meninggal dunia terkena pilek biasa
Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target utama HIV.22 HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian akan menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen.16 Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi.22 Pada masa ini, tidak ada dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat serta test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini, tahap ini disebut juga periode jendela (window periode).23 Kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai <200 sel/μL.22
2. Metode / Teknik Penularan dan Penyebaran Virus HIV AIDS
- Darah
Contoh : Tranfusi darah, terkena darah hiv+ pada kulit yang terluka, terkena darah menstruasi pada kulit yang terluka, jarum suntik, dsb
- Cairan Semen, Air Mani, Sperma dan Peju Pria
Contoh : Laki-laki berhubungan badan tanpa kondom atau pengaman lainnya, oral seks, dsb.
- Cairan Vagina pada Perempuan
Contoh : Wanita berhubungan badan tanpa pengaman, pinjam-meminjam alat bantu seks, oral seks, dll.
- Air Susu Ibu / ASI
Contoh : Bayi minum asi dari wanita hiv+, Laki-laki meminum susu asi pasangannya, dan lain sebagainya.
Cairan Tubuh yang tidak mengandung Virus HIV pada penderita HIV+ :
- Air liur / air ludah / saliva
- Feses / kotoran / tokai / bab / tinja
- Air mata
- Air keringat
- Air seni / air kencing / air pipis / urin / urine
3. Tes diagnosa
ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay) Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay). Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain juga bisa menunjukkan hasil positif sehingga menyebabkan false positif, diantaranya penyakit autoimun ataupun karena infeksi.16 Sensivitas ELISA antara 98,1%-100% dan dapat mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dalam darah.30
Western Blot memiliki spesifisitas (kemampuan test untuk menemukan orang yang tidak mengidap HIV) antara 99,6% - 100%. Namun pemeriksaannya cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.30 Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika test Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka test Western Blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan.16
PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas.16 b. Western Blot c. PCR (Polymerase chain reaction)

 5. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah Syndrome akibat defisiensi immunitas selluler tanpa penyebab lain yang diketahui, ditandai dengan infeksi oportunistik keganasan berakibat fatal. Munculnya Syndrome ini erat hubungannya dengan berkurangnya zat kekebalan tubuh yang prosesnya tidaklah terjadi seketika melainkan sekitar 5-10 tahun setelah seseorang terinfeksi HIV.
Berdasarkan hal tersebut maka penderita AIDS dimasyarakat digolongkan kedalam 2 kategori yaitu :
1. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS positif).
2. Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS negatif).

6. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai dengan menunjukkan gejala-gejala AIDS. Waktu yang dibutuhkan rata-rata cukup lama dan dapat mencapai kurang lebih 12 tahun dan semasa inkubasi penderita tidak menunjukkan gejala-gejala sakit.
Selama masa inkubasi ini penderita disebut penderita HIV. Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan “masa wndow periode”.
Selama masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi untuk menularkan virus HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai pola transmisi virus HIV. Mengingat masa inkubasi yang relatif lama, dan penderita HIV tidak menunjukkan gejala-gejala sakit, maka sangat besar kemungkinan penularan terjadi pada fase inkubasi ini.

7. MANIFESTASI KLINIS AIDS
Tanda-tanda gejala-gejala (symptom) secara klinis pada seseorang penderita AIDS adalah diidentifikasi sulit karena symptomasi yang ditujukan pada umumnya adalah bermula dari gejala-gejala umum yang lazim didapati pada berbagai
penderita penyakit lain, namun secara umum dapat kiranya dikemukakan sebagai berikut :
• Rasa lelah dan lesu
• Berat badan menurun secara drastis
• Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam
• Mencret dan kurang nafsu makan
• Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
• Pembengkakan leher dan lipatan paha
• Radang paru-paru
• Kanker kulit
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain tumor dan infeksi oportunistik :

1. Manifestadi tumor diantaranya;
a. Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.
b. Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan kurang lebih 1 tahun.

2. Manifestasi Oportunistik diantaranya
2.1. Manifestasi pada Paru-paru
2.1.1. Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.
2.1.2. Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30% penderita AIDS.
2.1.3. Mycobacterium Avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.
2.1.4. Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ lain diluar paru.
2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal
Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.
3. Manifestasi Neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan neuropari perifer.
8. Ada 2 cara pencegahan AIDS yaitu jangka pendek dan jangka panjang :
1. Upaya Pencegahan AIDS Jangka Pendek
Upaya pencegahan AIDS jangka pendek adalah dengan KIE, memberikan informasi kepada kelompok resiko tinggi bagaimana pola penyebaran virus AIDS (HIV), sehingga dapat diketahui langkah-langkah pencegahannya.
Ada 3 pola penyebaran virus HIV :
1. Melalui hubungan seksual
2. Melaui darah
3. Melaui ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya
2. Upaya Pencegahan AIDS Jangka Panjang
Penyebaran AIDS di Indonesia (Asia Pasifik) sebagian besar adalah karena hubungan seksual, terutama dengan orang asing. Kasus AIDS yang menimpa orang Indonesia adalah mereka yang pernah ke luar negeri dan mengadakan hubungan seksual dengan orang asing
Upaya jangka panjang yang harus kita lakukan untuk mencegah merajalelanya AIDS adalah merubah sikap dan perilaku masyarakat dengan kegiatan yang meningkatkan norma-norma agama maupun sosial sehingga masyarakat dapat berperilaku seksual yang bertanggung jawab.

9. Asuhan Keperawatan
I. Pengkajian.
1. Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.
2. Penampilan umum : pucat, kelaparan.
3. Gejala subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.
4. Psikososial : kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup, ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis.
5. Status mental : marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl, hilang interest pada lingkungan sekitar, gangguan prooses piker, hilang memori, gangguan atensi dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.
6. HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada bibir atau mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.
7. Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan , kaku kuduk, kejang, paraplegia.
8. Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
9. Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
10. Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu pernapasan, batuk produktif atau non produktif.
11. GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare, inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
12. Gu : lesi atau eksudat pada genital,
13. Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.

II. Diagnosa keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan
imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.
2. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
3. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
5. Diare berhubungan dengan infeksi GI
6. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang dicintai.

Salah satu pencegahan agar proses penularan tidak meluas adalah dengan memperbanyak dan mengefektifkan VCT (Voluntary Counseling and Testing) dan CST (Care, Support and Treatment) yang ada di Indonesia. Namun jumlah VCT yang ada tidaklah sesuai dengan jangkauan yang diharapkan, sementara CST dinilai belum maksimal.
Idealnya di seluruh kabupaten/kota di Indonesia memiliki klinik VCT. Petugasnya pun harus dilatih terlebih dahulu. Konselor di klinik VCT di daerah perlu diperbanyak.
Keberadaan VCT adalah upaya menuju akses pengobatan. Karena dari VCT merupakan pintu masuk orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mendapatkan pengobatan.
VCT(Voluntary Counselingand Testing) =KonselingdanTesSukarela(KTS), atauVCCT (voluntary and confidential counseling and testing)merupakankegiatankonselingyang bersifatsukareladanrahasia, yang dilakukansebelumdansesudahtesdarahuntukHIV



catatan : ini dimbil dari beberapa artikel maupun blog yang tersedia di google .. trimakasih atas ilmunya :)
 
Copyright (c) 2010 Eni Eviani Tube S.Kep. Design by WPThemes Expert

Themes By Buy My Themes and Direct Line Insurance.