Rabu, 04 April 2012


 Keperawatan Ga-dar

Tulang belakang
Terdiri dari susunan 33 ruas tulang yang masing-masing memiliki nama sendiri. Namun ke 33 ruas tulang tersebut dapat dibagi menjadi 5 bagian. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut.

ETIOLOGI
Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk merusak kord spinal serta kauda
ekuina. Dibidang olah-raga, tersering karena menyelam pada air yang sangat dangkal.
KLASIFIKASI
A. CEDERA TULANG
a. Stabil
Cedera yang stabil adalah bila fragmen tulang tidak mempunyai kemampuan untuk bergeser lebih jauh selain
yang terjadi pada saat cedera. Komponen arkus neural intak, serta ligamen yang menghubungkan ruas tulang
belakang, terutama ligamen longitudinal posterior, tidak robek. Cedera stabil diakibatkan oleh tenaga
fleksi, ekstensi dan kompresi yang sederhana terhadap kolumna tulang belakang dan tersering tampak pada
daerah toraks bawah serta lumbar. Fraktura baji badan ruas tulang belakang yang diakibatkan oleh fleksi akut
pada tulang belakang adalah contoh yang umum dari fraktura stabil.
b. Tak stabil
Fraktura mempunyai kemampuan untuk bergerak lebih jauh. Kelainan ini disebabkan oleh adanya elemen rotari
terhadap cedera fleksi atau ekstensi yang cukup untuk merobek ligamen longitudinal posterior serta merusak
keutuhan arkus neural, baik akibat fraktura pada pedikel dan lamina, maupun oleh dislokasi sendi
apofiseal.
B. CEDERA NEUROLOGIS
a. Tanpa defisit neurologis
Pemeriksaan klinis tak menunjukkan adanya kelainan neurologis.
b. Dengan defisit neurologis
Kerusakan neurologis yang terjadi saat kecelakaan dapat lengkap dengan hilangnya fungsi dibawah tingkat cedera
atau tidak lengkap. Defisit neurologis paling mungkin terjadi setelah cedera pada daerah punggung karena
kanal spinal tersempit didaerah ini. Adanya spondilosis servikal memperberat kerusakan neurologis bahkan karena
cedera minor sekalipun pada orang tua. Ancaman terhadap leher juga bertambah karena artritis rematoid.
Harus selalu diingat bahwa tulang belakang toraks adalah daerah utama terjadinya fraktura patologis
karena proses metastatik.
TEMUAN KLINIS
Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus dimana setelah cedera pasien mengeluh nyeri serta
terbatasnya pergerakan leher dan pinggang. Deformitas klinis mungkin tidak jelas dan kerusakan neurologis
mungkin tidak tampak pada pasien yang juga mengalami cedera kepala atau cedera berganda. Tidak lengkap
pemeriksaan pada suatu cedera bila fungsi anggota gerak belum dinilai untuk menyingkirkan kerusakan akibat
cedera tulang belakang.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Karena alasan diatas, perlu dilakukan pemeriksaan radiografi tulang belakang servikal pada semua pasien
cedera kepala sedang dan berat. Radiograf yang diambil di UGD kualitasnya tidak selalu baik dan bila tetap
diduga adanya cedera tulang belakang, radiograf selanjutnya diambil lagi termasuk tampilan oblik bila
perlu, serta (pada daerah servikal) dengan leher pada fleksi serta ekstensi bila diindikasikan. Tampilan
melalui mulut terbuka perlu untuk memperlihatkan proses odontoid pada bidang antero-posterior.
PENGELOLAAN
Sasaran terapi adalah mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada, memaksimalkan pemulihan neurologis,
tindakan atas cedera lain yang menyertai, dan mencegah serta mengobati komplikasi serta sekuele kerusakan
neural. Reduksi atas subluksasi untuk mendekompres kord spinal dan tindakan immobilisasi tulang belakang untuk
melindungi kord spinal adalah merupakan dasar dari tindakan. Operasi lebih awal diindikasikan untuk dekompresi neural, fiksasi internal, atau debridemen luka terbuka. Pasien dengan kelainan patologis kompresif dan defisit neurologis tidak lengkap atau dengan defisit neurologis progresif adalah kandidat operasi dekompresi gawat
darurat. Fiksasi internal elektif dilakukan pada pasien dengan ketidakstabilan tulang belakang, cedera ligamen
tanpa fraktura, deformitas tulang belakang progresif, cedera yang tak dapat direduksi, fraktur yang nonunion.
Mediator sekunder dari cedera adalah perubahan metabolik serta patofisiologik yang berperan terhadap
progresi dari respons cedera kord spinal setelah cedera primer atau mekanikal. Cedera jaringan menyebabkan
perubahan biokimia, seluler, serta perubahan jaringan yang akan menimbulkan iskemia jaringan. Iskemia dan
infarksi kord spinal pasca cedera adalah mekanisme kunci. Iskemia pasca cedera mempunyai efek lokal dan
sistemik. Secara sistemik terjadi pengurangan curah jantung, hipotensi dan vasodilatasi simpatetik. Secara
lokal, autoregulasi dapat hilang serta mikrosirkulasi pada dan sekitar segmen kord spinal yang cedera bisa
berkurang. Efek vaskuler pasca cedera harus ditindak untuk mengoptimalkan pemulihan. Ekspansi volume dan
vaso-presor digunakan untuk memperbaiki keadaan normo-tensif. Aliran darah kord spinal dapat diperbaiki dengan cara ekspansi volume, steroid, nimodipin, atau dopamin. Dosis tinggi metilprednisolon (bolus 30mg/kg diikuti 5.4mg/kg/jam untuk 23 jam berikutnya) yang bila diberikan dalam 8 jam sejak cedera akan memperbaiki
pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga akan memperbaiki pemulihan setelah cedera kord spinal.
Penilaian keadaan neurologis setiap jam termasuk pengamatan fungsi sensori, motori dan refleks penting
untuk melacak defisit yang progresif atau asenden. Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, fungsi
ventilasi dan melacak keadaan dekompensasi merupakan hal yang vital.
1. Cedera stabil tanpa defisit neurologis
Pada kelompok ini diantaranya angulasi atau baji dari badan ruas tulang belakang, fraktura proses transversus
dan spinosus, dll. Tindakannya simtomatik, seperti istirahat baring hingga nyeri berkurang, kemudian
mobilisasi bertahap dengan fisioterapi untuk memulihkan kekuatan otot.
2. Fraktura tak stabil tanpa defisit neurologis
Bila terjadi pergeseran, fraktura memerlukan reduksi, dan posisi yang sudah lebih baik harus dipertahankan.
Metoda reduksi antaranya:
a. Traksi
Fraktura servikal paling tak stabil dapat direduksi dengan memuaskan dengan melakukan traksi pada tulang
elakang servikal memakai sepit (tong) metal (seperti tong Gardner-Well atau Crutchfield) yang dipasang pada
tengkorak. Beban sekitar 20 kg (tergantung tingkat ruas tulang belakang, mulai sekitar 2.5 kg pada fraktura C1)
digunakan dalam mengusahakan reduksi.
b. Manipulasi
Dislokasi serta locking dari faset sendi apofiseal servikal mungkin menghambat reduksi fraktura bila hanya
semata dengan traksi. Manipulasi hati-hati leher dalam anestesi umum dapat membebaskan faset.
c. Reduksi terbuka
Kadang-kadang terhadap faset pada daerah servikal dan toraks diperlukan operasi untuk mengembalikan alignment
normalnya.
Metoda immobilisasi setelahnya adalah:
a. Ranjang khusus, rangka, atau selubung plester dengan
pasien dapat dirawat untuk waktu yang lama dengan
mempertahankan posisi yang telah direduksi bahkan saat
membalik untuk memandikan atau merawat kulit.
b. Traksi tengkorak. Hanya diperlukan beban sedang
untuk mempertahankan cedera leher yang sudah direduksi.
c. Plester paris dan splin eksternal lain. Pasien
dengan cedera servikal nyatanya dapat dimobilisasi
dengan leher disangga dengan plester paris dalam posisi
memadai atau dengan splin metal yang dirancang agar
kepala tetap immobil disaat pergerakan tubuh.
d. Operasi. Fusi secara bedah melintas garis fraktur
dapat dilakukan. Pada tulang belakang servikal operasi
dilakukan baik dari depan maupun belakang. Pada daerah
toraks tulang belakang difiksasi dengan pelat metal dan
tandur tulang yang menyatukan lamina dengan proses
spinosus berdekatan.
3. Cedera stabil dengan defisit neurologis
Bila fraktura stabil, kerusakan neurologis diakibatkan
oleh:
a. Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera
menyebabkan trauma langsung terhadap kord spinal atau
kerusakan vaskuler, namun dengan bagian tulang dalam
konfigurasi yang lebih normal.
b. Tulang belakang sebelumnya sudah rusak akibat
penyakit sebelumnya seperti pada spondilosis servikal.
c. Fragmen tulang atau diskus terdorong kekanal spinal.
Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan
neurologis yang tampak pada saat pertama diperiksa.
Suatu transeksi neurologis lengkap, terbaik dirawat
konservatif. Pada cedera didaerah servikal, leher
diimmobilisasi dengan kolar atau sepit (kaliper) dan
pasien diberi metil prednisolon. Pemeriksaan lebih
lanjut seperti mielografi atau MRI harus dilakukan bila
pemeriksaan menunjukkan adanya potensi akan perbaikan
neurologis. Kesempatan perbaikan pada pasien dengan
defisit total disaat diperiksa adalah kecil dan semakin
jauh bila tidak ada perbaikan dalam 48 jam.
Pada cedera neurologis tak lengkap pasien juga
mulanya dirawat konservatif. Bila kerusakan didasari
adanya spondilosis servikal, traksi tengkorak digunakan
disamping pemberian metil prednisolon. Perkiraan atas
kerusakan dilakukan dan bila perbaikan terjadi dengan
memuaskan, tidak ada lagi tindakan lain yang diperlukan
kecuali bila spondilosis yang sudah ada sebelumnya
memerlukan tindakan bedah. Bila tidak ada perbaikan
atau ada perbaikan namun diikuti perburukan, dilakukan
mielografi untuk menampilkan daerah fraktura yang akan
didekompresi. Dengan kata lain, tindakan konservatif
memungkinkan kord spinal yang rusak memperlihatkan
potensinya untuk membaik dan tindakan bedah dilakukan
pada saat risiko pertambahan defisit neurologis sudah
dikurangi.
4. Cedera tulang tak stabil dengan defisit neurologis
Bila lesinya total, dilakukan reduksi yang diikuti
dengan immobilisasi seperti halnya pada seksi 2 dengan
tambahan perawatan paraplegik. Bila defisit neurologis
tak lengkap, reduksi dan diikuti immobilisasi sesuai
dengan jenis cederanya, dan bila diperlukan operasi,
dekompresi kanal spinal dilakukan pada saat yang sama.
Setelah setiap tindakan, kebijaksanaan konservativ
seperti pada seksi 3 dapat diteruskan karena fraktura
sekarang telah berubah dari tak stabil menjadi stabil.
CEDERA YANG MENYERTAI DAN KOMPLIKASI CEDERA KORD SPINAL
Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan
penilaian atas cedera lain dan mungkin juga merubah
respon terhadap terapi. 60% lebih pasien dengan cedera
kord spinal bersamaan dengan cedera major: kepala atau
otak, toraks, abdominal, atau vaskuler. Berat serta
jangkauan cedera penyerta yang berpotensi didapat dari
penilaian primer yang sangat teliti dan penilaian ulang
yang sistematik terhadap pasien setelah cedera kord
spinal. Dua penyebab kematian utama setelah cedera kord
spinal adalah aspirasi dan syok.
Pengelolaan Hemodinamik
Bila pasien hipotensif, cari sumber perdarahannya dan
atasi. Syok neurogenik mungkin tertutupi oleh syok
hemoragik.
Syok neurogenik disebabkan oleh hilangnya aliran
adrenergik dari sistema saraf simpatetik pada jantung
dan vaskulatur perifer setelah cedera diatas tingkat
T6. Terjadi hipotensi, bradikardia, dan hipotermi. Syok
neurogenik akan lebih mengganggu distribusi volume
intravaskuler dari pada menyebabkan hipovolemi sejati.
Atropin, dopamin, atau fenilefrin harus dipertimbangkan
untuk mengobati syok neurogenik, yang tak berreaksi
atas penggantian volume intravaskuler.
Syok spinal berbeda dari sindroma fisiologik syok
neurogenik. Syok spinal menunjukkan kehilangan lengkap
aktifitas motori, sensori dan refleks segmental dengan
flaksiditas dibawah tingkat cedera. Keadaan ini mungkin
berakhir setelah 6 minggu. Bila syok spinal bertahan
lebih dari 24 jam, prognosis untuk ambulasi betul-betul
tidak ada. Akhir dari syok spinal akan ditunjukkan oleh
kembalinya refleks spinal, namun fenomena ini belum
dimengerti.
Selama fase akut setelah cedera, beberapa jalur
intravena perifer ukuran besar (no. 16) dan pengamat
tekanan darah melalui jalur arteri dipasang, dan
resusitasi air dimulai. Bila pasiennya hipotensif dan
tak berreaksi atas cairan atau produk darah intravena,
kateterisasi pada arteri pulmoner merupakan pembantu
diagnostik untuk membimbing manipulasi terapeutik dan
untuk membedakan antara mekanisme hipovolemik, kardio-
genik dan neurogenik.
Pengelolaan Respiratori
Disfungsi respirasi bisa terjadi karena kegagalan
ventilatori akibat hilangnya fungsi neural dengan
paralisis muskulatur toraks. Mungkin juga karena atau
eksaserbasi dari beberapa faktor parenkhimal. Tindakan
terhadap kelainan patologi dan pencegahan terhadap
kelainan pulmoner sekunder atau didapat sangat penting.
Pembalikan tubuh berulang, perangsangan batuk,
pernafasan dalam, spirometri insentif, dan pernafasan
bertekanan positif yang sinambung dengan masker adalah
cara mempertahankan ekspansi paru-paru atau kapasitas
residual fungsional. Tekanan pernafasan positif yang
sinambung dengan masker merupakan cara optimal untuk
mempertahankan kapasitas residual fungsional pada
pasien yang tidak diintubasi. Cara ini digunakan dalam
usaha mencegah pamakaian ventilasi mekanik.
Pasien dengan saraf frenik intak (C3,4,5) dengan
trauma kord spinal servikal tengah atau toraks mungkin
semula tampil dengan gas darah normal dan memburuk atau
mengalami dekompensata secara akut dengan kegagalan
pernafasan. Hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori
dan otot interkostal menimbulkan gangguan pengembangan
toraks dan menyebabkan atelektasis progresif. Dada
fungsinya menjadi inkompeten dan kurang compliant.
Gangguan fungsi ventilatori, sekret, dan infeksi
bronkhopulmoner, serta keadaan lain yang menyebabkan
eksaserbasi insufisiensi respirasi haruslah ditindak
efektif. Trakheostomi dilakukan bila pasien tak mungkin
dilepaskan dari ventilator. Umumnya bila ventilasi
diperlukan, lebih dari dua minggu.
Pengelolaan Nutrisional dan Gastrointestinal
Pasien dengan cedera kord spinal lengkap dan akut harus
mendapatkan pemeriksaan CT scan abdomen atau lavasi
peritoneal bila diduga ada perdarahan atau cedera
abdominal. Tanda dan gejala cedera abdominal mungkin
tidak ada pada cedera kord spinal akibat hilangnya
sensasi.
Cedera kord spinal akut, terutama pada daerah
toraks dan lumbar biasanya dengan ileus akibat efek
mekanik langsung atau hilangnya fungsi neural otonom.
Ileusnya harus ditindak dengan suction nasogastrik,
penggantian elektrolit, dan pengamatan status cairan.
Walau paralisis, pasien dengan cedera kord spinal
jelas dengan peningkatan tingkat metabolisme (50-100%
diatas normal) dan segera menjadi katabolik. Dianjurkan
terapi nutrisional dini. Pemberian dukungan nutrisi
dalam 24 jam sejak cedera menunjukkan pengurangan
infeksi, trombosis vena dalam, dan komplikasi katabolik.
Pemberian makanan oral atau alimentasi enteral
lebih disukai. Selang duodenal yang fleksibel dipasang
dengan bantuan fluoroskopi bila diperkirakan perlu
hiperalimentasi enteral elemental. Pasien dengan ileus
atau tidak mampu mentolerasi makanan enteral harus
segera mendapatkan hiperalimentasi parenteral total
(TPN). Pencegahan ulkus biasanya dengan antihistamin
(simetidin, ranitidin) atau antasid.
Pengosongan lambung yang terlambat sesudah cedera
mungkin menyebabkan pneumonia aspirasi bila pasien
mendapatkan gastric feeding. Penggunaan duodenal
feeding mencegah aspirasi. Penambahan zat warna akan
melacak adanya aspirasi atau refluks.
Cairan makanan hipertonik, penurunan absorpsi
intestinal, atau keduanya, dapat menyebabkan diare pada
pasien dengan makanan enteral. Keadaan ini diatasi
dengan mencoba berbagai konsentrasi formula atau dengan
menambahkan difenoksilat hidrokhlorida dengan atropin
sulfat (Lomotil) atau obat sejenis.
Kehilangan fungsi sfingter anal ditindak bila
ileus dan syok spinal berlalu. Pemberian supositoria
bisakodil (Dulcolax) dengan dilatasi manual rektal
memberikan rangsangan untuk kontraksi uniform untuk
pengosongan “volitional”.
Gangguan Koagulasi
Koagulopati intravaskuler diseminata jarang terjadi
pada cedera kord spinal terbatas, bila dibandingkan
dengan cedera kepala berat. Namun pasien paralisis
mempunyai risiko besar atas terjadinya trombosis vena
dalam dan emboli paru-paru.
Heparin dosis mini (5000 U subkutan, 2-3 kali
sehari), ranjang yang berosilasi, ekspansi volume,
stoking elastik setinggi paha, stoking pneumatik anti
emboli, antiplatelet serta anti koagulasi dianjurkan
untuk pencegahan, namun belum ada cara yang superior.
Pengelolaan Genitourinari
Setelah cedera, kandung kemih menjadi atonik secara
akut. Kateter Foley yang indwelling harus sejak semula
digunakan untuk mengamati output cairan dan untuk
mencegah distensi kandung kemih. Kateterisasi berkala
kandung kemih dimulai setelah keadaan medikal pasien
stabil dan dilakukan untuk mempertahankan volume
kandung kencing dibawah 400ml. Kateterisasi intermiten
dan bersih mengurangi risiko sistitis dan pielonefritis
pada pasien dengan kandung kemih neurogenik. Antibiotik
profilaktik tidak dianjurkan, namun infeksi spesifik
harus segera diobati.
Ulkus Dekubitus
Segera terbentuk pada pasien paralisis akibat tekanan
langsung pada dermal, kurangnya perfusi jaringan, dan
kurangnya mobilitas. Busa atau kulit kambing penyangga
tonjolan tulang, pemutaran tubuh berulang, perawatan
kulit yang baik, dan ranjang berosilasi atau udara,
dapat membantu pencegahan ulkus dekubitus. Pencegahan
komplikasi kulit adalah sangat penting.
Pengelolaan Pasien Paraplegik
Penderita cacad paraplegik terbukti banyak yang dapat
kembali aktif dan gembira sebagai anggota masyarakat,
berperanan dirumah, dilingkungan serta dipekerjaan.
Perawatan dikelompokkan kedalam:
1. Respirasi. Peran utama saraf frenik adalah pada
tingkat C4 dan cedera servikal tengah dapat berpengaruh
pada fungsi diafragma baik pada satu maupun kedua sisi.
Defisit yang ditimbulkannya bisa temporer atau menetap.
Pada tahap awal pasien mungkin memerlukan ventilasi dan
tube endotrakheal yang dipasang sebagai tindakan gawat
darurat harus diganti dengan trakheostomi sesegera
mungkin. Sebagai tambahan pada pernafasan artifisial
adalah kemungkinan aspirasi yang efisien terhadap
sekresi paru-paru dan mencegah terjadinya bronkho-
pneumonia. Perbaikan keadaan neurologis memungkinkan
pasien untuk dilepas dari ventilator untuk selanjutnya
menutup trakheostomi.
2. Kulit. Kulit yang anestetik pada pasien paraplegik
menyebabkan sakrum, trokhanter major dan tumit cepat
menjadi merah dan ulserasi bila perawatan terlantar.
Pikirkan bahwa semua bed sores dapat dicegah bila tidak
ada defek intrinsik pada kulit yang akan menjadi sumber
luka. Pasien harus dibalik setiap dua jam dan apapun
cara yang digunakan untuk mengimmobilisasi pasien pada
fraktura tak stabil, harus tetap efektif saat merubah
posisi.
3. Kandung kemih. Cedera akut kord spinal mengakibatkan
periode syok spinal yang berakhir dalam beberapa hari
hingga beberapa minggu, disaat mana aktifitas semua
refleks dibawah tingkat lesi akan menghilang. Kandung
kencing berekspansi tanpa disertai adanya nyeri dengan
tiadanya refleks untuk mengosongkannya hingga terjadi
inkontinensia overflow dan dribbling. Bila syok spinal
berlalu, aktifitas refleks pulih dan sebagian usaha
untuk mengosongkan kandung kemih dimulai. Bila kauda
ekuina mengalami transeksi, maka tidak ada harapan
pengosongan secara refleks karena muskulatur kandung
kemih terputus dari pusat refleks dikord spinal bawah.
Harapan diberikan pada sebagian aktifitas otot detrusor
intrinsik, digabung dengan kompresi manual yang akan
mengosongkan kandung kemih secara lengkap dan teratur.
Sasaran semua cara perawatan dini kandung kemih
pada pasien paraplegik adalah agar pasien dengan jalur
kencing yang steril mampu mengosongkan kandung kencing
secara sempurna pada selang waktu yang sesuai tanpa
adanya stasis atau retensi air kencing yang mungkin
akan menimbulkan hidronefrosis atau pielonefritis.
Ada dua cara selain yang dijelaskan diatas untuk
pengelolaan dini pada kandung kencing paraplegik:
a. Kateterisasi intermiten dilakukan dalam cara steril
menggunakan teknik aseptik (sering oleh dokter) tiga
kali sehari hingga refleks atau pengosongan manual yang
efektif dapat dicapai.
b. Kateter indwelling kecil dan non iritan dipasang dan
sistem tertutup penampungan kencing secara sinambung
atau berkala dilakukan hingga risiko infeksi asenden
dapat ditekan.
Tindakan bedah kemudian atas leher kandung kencing
serta sfingter eksternal mungkin diperlukan untuk
mendapatkan pengosongan yang efektif. Bila ternyata
tidak mungkin didapat dengan cara ini, mungkin perlu
untuk melakukan cara lain untuk mengalirkan dan
menampung air kencing seperti ureterostomi atau aliran
keileal.
4. Berak. Sasaran untuk mendapatkan pengosongan rektum
teratur dan terperkirakan tanpa inkontinensia atau
mendadak. Ini memerlukan tambahan diet dengan sejumlah
serat serta penggunaan laksatif, suppositori dan enema
reguler.
5. Anggota gerak. Penting bahwa anggota yang paralisa
harus secara teratur mendapatkan pergerakan pasif untuk
mencegah kekakuan sendi. Kontraktur yang disebabkan
perbedaan spastisitas kelompok otot berlawanan harus
dicegah dengan latihan sesuai, medikasi, akhirnya
pemisahan tendo tertentu.
6. Nutrisi umum. Perlu mempertahankan masukan berkalori
tinggi untuk mencoba dan menekan akibat dari keadaan
katabolik yang tak dapat dielakkan yang terjadi pada
pasien bersangkutan pada masa segera setelah cedera.
Rehabilitasi Pasien Paraplegik
Rehabilitasi dan mempersiapkan pasien untuk mandiri
harus dimulai segera setelah pengelolaan frakturanya
memungkinkan. Keberhasilan rehabilitasi ditentukan oleh
ambisi mental dan fisiknya ketingkat kenyataan tanpa
kehilangan rasa kepercayaan diri dan kehormatannya.
1. Rehabilitasi fisik
Meningkatkan penggunaan kelompok otot yang berfungsi:
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang
masih aktif pada lengan atas dan batang tubuh.
b. Pembiasaan terhadap alat dan perangkat rumah tangga
hingga mereka dapat memanipulasinya dengan cara-cara
tertentu.
c. Perlengkapan splint dan kaliper.
d. Transplantasi tendon.
Perbaikan mobilitas:
a. Latihan dengan kaliper dan kruk untuk pasien cedera
tulang belakang bawah.
b. Latihan kursi roda untuk pasien dengan otot tulang
belakang dan tungkai tak berfungsi.
c. Kendaraan khusus untuk dijalan raya.
2. Rehabilitasi psikologis
Pertama dimulai agar pasien segera menerima ketidak-
mampuannya dan merancang kembali keinginan dan rencana.
Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri
datang dari ketidakpastian finansial, sosial serta
seksual yang semuanya memerlukan semangat, hal-hal yang
menjamin dan bantuan.
3. Penerimaan dirumah
Pelebaran pintu, pengadaan ram dan bahkan perancangan
kembali rumah agar memudahkan pasien dengan kursi roda.
Perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan
dapur hingga menghilangkan ketergantunag pada orang
lain.
4. Latihan untuk pekerjaan
Pasien yang bekerjanya duduk mungkin hanya memerlukan
sedikit pengaturan. Yang bekerja dengan mobilitas yang
lebih tinggi atau kerja fisik harus dilatih dalam
keterampilan baru dan didaftarkan sebagai orang cacad
hingga dapat kembali kepekerjaan bermanfaat.

Tanda dan Gejala
kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dankandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.setelah shock spinal pulih kembali, akanterdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit keringkarena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dangangguan defekasi (Price &Wilson (1995). Sindrom sumsum belakang bagian depanmenunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dansuhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu (Price &Wilson (1995).Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadiakibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbanganyang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese parsial.gangguan pada ekstremitas atas lebih ringandaripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak terganggu (Aston. J.N, 1998)
kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia perianal,gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa (Aston. J.N, 1998).

Sistem Saraf Tepi

Sistem saraf tepi terdiri dari sistem saraf sadai dan sistem saraf tak sadar (sistem saraf otonom). Sistem saraf sadar mengontrol aktivitas yang kerjanya diatur oleh otak, sedangkan saraf otonom mengontrol aktivitas yang tidak dapat diatur otak antara lain denyut jantung, gerak saluran pencernaan, dan sekresi keringat.

Algortima Dasar Pertolongan Pertama pada Gawat Darurat

a. Ada pasien tidak sadar


Terkadang di jalan ada beberapa orang yang tergeletak di jalan begitu saja. Mereka mungkin memerlukan bantuan Anda. Jika hal itu terjadi maka Anda harus menolong mereka. Hal yang bisa Anda lakukan adalah menghubungi orang terdekat untuk juga menolong mereka.

b. Pastikan  kondisi  tempat  pertolongan  aman  bagi pasien dan penolong


Setelah Anda memberitahukan kepada lingkungan kalau Anda akan berusaha menolong, maka pindahkan pasien ke tempat lain. Tempat yang aman bagi pasien dan bagi penolong. Tempat yang aman bagi pasien dan penolong misalnya tempat yang tidak membahayakan. Misalnya jika orang yang perlu kita tolong berada di jalan, maka bawalah dia ke tempat yang lebih aman misalnya ke rumah penduduk setempat.

c.  Cek kesadaran pasien.


 Lakukan dengan metode AVPU, yakni :

A (Alert): Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V

V (Verbal): Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di telinga korban. Pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau menyentuh pasien, jika tidak merespon lanjut ke P

P (Pain): Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah menekan bagian putih dari kuku tangan di pangkal kuku. Selain itu dapat juga dengan menekan bagian tengah tulang dada atau sternum dan juga areal di atas mata.

U (Unresponsive): Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi maka pasien berada dalam keadaan unresponsive.

d.  Call for Help.


Mintalah bantuan kepada masyarakat di sekitar untuk menelpon ambulans ( umumnya pada nomor telepon 118 ) dengan memberitahukan :

1. Jumlah korban
2. Kesadaran korban sadar atau tidak sadar.
3. Perkiraan usia dan jenis kelamin misalnya lelaki muda atau ibu tua.
4. Tempat terjadi kegawatan meliputi alamat yang lengkap yang mudah ditunjukkan.

e. Membuat Korban Senyaman Mungkin.

Saat Anda sudah berusaha menelpon ambulan maka hal yang harus Anda lakukan adalah membuat nyaman pasien. Hal itu dapat dilakukan dengan cara bebaskanlah korban dari pakaian di daerah dada dengan membuka kancing baju bagian atas agar dada terlihat. Setelah itu posisikan diri di sebelah korban, usahakan posisi kaki yang mendekati kepala sejajar dengan bahu pasien.



f. Mengecek apa yang diderita korban.

Jika Ambulan tidak kunjung datang maka ceklah sendiri apakah ada tanda-tanda berikut :
1.

luka-luka dari bagian bawah bahu ke atas(supra darkula)
2.     

pasien mengalami tumbukan di berbagai tempat, misal terjatuh dari sepeda motor. berdasarkan saksi pasien mengalami cedera di tulang belakang bagian leher.

g. Mengartikan tanda-tanda yang diderita korban

Tanda-tanda yang diderita korban misalnya terjadi luka pada tulang belakang bagian leher (cervical). Cedera pada bagian ini sangat berbahaya karena di sini terdapat. syaraf yang mengatur fungsi vital manusia yakni nafas dan denyut jantung. Jika Anda bisa menanganinya maka Anda dapat mencobanya. Namun jika tidak maka Anda tidak perlu melakukan apapun. Anda tinggal menunggu ambulan atau Anda meminta tolong yang lain bisakah merawat apa yang diderita korban.
Jika tidak ada tanda-tanda cedera tersebut maka lakukanlah Head Tilt and Chin Lift. Chin lift dilakukan dengan cara menggunakan dua jari lalu mengangkat tulang dagu ke atas. Ini disertai dengan melakukan Head tilt yaitu menahan kepala dan mempertahankan posisi. Ini dilakukan untuk membebaskan jalan nafas korban.
JiKa ada tanda-tanda tersebut, maka beralihlah ke bagian atas pasien, jepit kepala pasien dengan paha, usahakan agar kepalanya tidak bergerak-gerak lagi (imobilisasi) dan lakukanlah Jaw Thrust. Gerakan ini dilakukan untuk menghindari adanya cedera lebih lanjut pada tulang belakang bagian leher pasien.


h. Melakukan Pemeriksaan

Sambil melakukan treatment di atas, lakukanlah pemeriksaan kondisi jalan nafas dan pernafasan pasien.


i. Metode pengecekan menggunakan metode look, listen and feel.

Look : Lihat apakah ada gerakan dada yakni gerakan bernafas, apakah gerakan tersebut simetris atau tidak.
Listen : Dengarkan apakah ada suara nafas normal, dan apakah ada suara nafas tambahan yang abnormal. Nafas tambahan yang abnormal bisa timbul karena ada hambatan sebagian.


j. Periksalah jalan nafas

Periksalah jalan nafas pasien. Jika ternyata pasien masih bernafas, maka hitunglah berapa frekuensi pernafasan pasien itu dalam 1 menit. Pernafasan normal adalah 12-20 kali permenit.


k. Periksa kembali nada karotis

Anda perlu mengecek kembali nadi karotis. Ini dilakukan dengan metode seperti di atas selama 10 detik, jika teraba lakukan look listen and feel lagi. Jika tidak teraba ulangi lagi.

l. Setelah berhasil mengamankan kondisi diatas periksalah tanda-tanda shock pada pasien :

Denyut nadi > 100 kali per menit Telapak tangan basah dingin dan pucat Capilarry Refill Time > 2 detik. CRT dapat diperiksa dengan cara menekan ujung kuku pasien dengan kuku pemeriksaan selama 5 detik, lalu lepaskan, cek berapa lama waktu yang dibutuhkan agar warna ujung kuku merah lagi.

m. Jika pasien shock, lakukan shock position pada pasien,yaitu dengan mengangkat kaki pasien setinggi 45 derajat dengan harapan sirkulasi darah akan lebih banyak ke  jantung.

n. Pertahankan posisi shock sampai bantuan datang atau tanda-tanda shock   menghilang.

o. Jika ada pendarahan pada pasien, cobalah hentikan pendarahan dengan cara menekan atau mengikat luka. Dalam mengikat jangan terlalu erat karena dapat mengakibatkan jaringan yang diikat mati

p. Setelah kondisi pasien stabil, tetap monitor selalu kondisi pasien dengan look, listen and feel, karena pasien sewaktu-waktu dapat memburuk secara tiba-tiba.


catatan : ini dimbil dari beberapa artikel maupun blog yang tersedia di google .. trimakasih atas ilmunya :)


0 komentar:

 
Copyright (c) 2010 Eni Eviani Tube S.Kep. Design by WPThemes Expert

Themes By Buy My Themes and Direct Line Insurance.