Keperawatan Ga-dar
Tulang belakang 
Terdiri dari susunan 33 ruas tulang yang masing-masing memiliki nama sendiri. Namun ke 33 ruas tulang tersebut dapat dibagi menjadi 5 bagian. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut.
ETIOLOGI
Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk merusak kord spinal serta kauda 
ekuina. Dibidang olah-raga, tersering karena menyelam pada air yang sangat dangkal.
KLASIFIKASI
A. CEDERA TULANG
a. Stabil
Cedera yang stabil adalah bila fragmen tulang tidak mempunyai kemampuan untuk bergeser lebih jauh selain 
yang terjadi pada saat cedera. Komponen arkus neural intak, serta ligamen yang menghubungkan ruas tulang 
belakang, terutama ligamen longitudinal posterior, tidak robek. Cedera stabil diakibatkan oleh tenaga 
fleksi, ekstensi dan kompresi yang sederhana terhadap kolumna tulang belakang dan tersering tampak pada 
daerah toraks bawah serta lumbar. Fraktura baji badan ruas tulang belakang yang diakibatkan oleh fleksi akut 
pada tulang belakang adalah contoh yang umum dari fraktura stabil.
b. Tak stabil
Fraktura mempunyai kemampuan untuk bergerak lebih jauh. Kelainan ini disebabkan oleh adanya elemen rotari 
terhadap cedera fleksi atau ekstensi yang cukup untuk merobek ligamen longitudinal posterior serta merusak 
keutuhan arkus neural, baik akibat fraktura pada pedikel dan lamina, maupun oleh dislokasi sendi 
apofiseal.
B. CEDERA NEUROLOGIS
a. Tanpa defisit neurologis
Pemeriksaan klinis tak menunjukkan adanya kelainan neurologis.
b. Dengan defisit neurologis
Kerusakan neurologis yang terjadi saat kecelakaan dapat lengkap dengan hilangnya fungsi dibawah tingkat cedera 
atau tidak lengkap. Defisit neurologis paling mungkin terjadi setelah cedera pada daerah punggung karena 
kanal spinal tersempit didaerah ini. Adanya spondilosis servikal memperberat kerusakan neurologis bahkan karena 
cedera minor sekalipun pada orang tua. Ancaman terhadap leher juga bertambah karena artritis rematoid.
Harus selalu diingat bahwa tulang belakang toraks adalah daerah utama terjadinya fraktura patologis 
karena proses metastatik.
TEMUAN KLINIS
Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus dimana setelah cedera pasien mengeluh nyeri serta 
terbatasnya pergerakan leher dan pinggang. Deformitas klinis mungkin tidak jelas dan kerusakan neurologis 
mungkin tidak tampak pada pasien yang juga mengalami cedera kepala atau cedera berganda. Tidak lengkap 
pemeriksaan pada suatu cedera bila fungsi anggota gerak belum dinilai untuk menyingkirkan kerusakan akibat 
cedera tulang belakang.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Karena alasan diatas, perlu dilakukan pemeriksaan radiografi tulang belakang servikal pada semua pasien 
cedera kepala sedang dan berat. Radiograf yang diambil di UGD kualitasnya tidak selalu baik dan bila tetap 
diduga adanya cedera tulang belakang, radiograf selanjutnya diambil lagi termasuk tampilan oblik bila 
perlu, serta (pada daerah servikal) dengan leher pada fleksi serta ekstensi bila diindikasikan. Tampilan 
melalui mulut terbuka perlu untuk memperlihatkan proses odontoid pada bidang antero-posterior.
PENGELOLAAN
Sasaran terapi adalah mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada, memaksimalkan pemulihan neurologis, 
tindakan atas cedera lain yang menyertai, dan mencegah serta mengobati komplikasi serta sekuele kerusakan 
neural. Reduksi atas subluksasi untuk mendekompres kord spinal dan tindakan immobilisasi tulang belakang untuk 
melindungi kord spinal adalah merupakan dasar dari tindakan. Operasi lebih awal diindikasikan untuk dekompresi neural, fiksasi internal, atau debridemen luka terbuka. Pasien dengan kelainan patologis kompresif dan defisit neurologis tidak lengkap atau dengan defisit neurologis progresif adalah kandidat operasi dekompresi gawat 
darurat. Fiksasi internal elektif dilakukan pada pasien dengan ketidakstabilan tulang belakang, cedera ligamen 
tanpa fraktura, deformitas tulang belakang progresif, cedera yang tak dapat direduksi, fraktur yang nonunion.
Mediator sekunder dari cedera adalah perubahan metabolik serta patofisiologik yang berperan terhadap 
progresi dari respons cedera kord spinal setelah cedera primer atau mekanikal. Cedera jaringan menyebabkan 
perubahan biokimia, seluler, serta perubahan jaringan yang akan menimbulkan iskemia jaringan. Iskemia dan 
infarksi kord spinal pasca cedera adalah mekanisme kunci. Iskemia pasca cedera mempunyai efek lokal dan 
sistemik. Secara sistemik terjadi pengurangan curah jantung, hipotensi dan vasodilatasi simpatetik. Secara 
lokal, autoregulasi dapat hilang serta mikrosirkulasi pada dan sekitar segmen kord spinal yang cedera bisa 
berkurang. Efek vaskuler pasca cedera harus ditindak untuk mengoptimalkan pemulihan. Ekspansi volume dan 
vaso-presor digunakan untuk memperbaiki keadaan normo-tensif. Aliran darah kord spinal dapat diperbaiki dengan cara ekspansi volume, steroid, nimodipin, atau dopamin. Dosis tinggi metilprednisolon (bolus 30mg/kg diikuti 5.4mg/kg/jam untuk 23 jam berikutnya) yang bila diberikan dalam 8 jam sejak cedera akan memperbaiki 
pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga akan memperbaiki pemulihan setelah cedera kord spinal.
Penilaian keadaan neurologis setiap jam termasuk pengamatan fungsi sensori, motori dan refleks penting 
untuk melacak defisit yang progresif atau asenden. Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, fungsi 
ventilasi dan melacak keadaan dekompensasi merupakan hal yang vital.
1. Cedera stabil tanpa defisit neurologis
Pada kelompok ini diantaranya angulasi atau baji dari badan ruas tulang belakang, fraktura proses transversus 
dan spinosus, dll. Tindakannya simtomatik, seperti istirahat baring hingga nyeri berkurang, kemudian 
mobilisasi bertahap dengan fisioterapi untuk memulihkan kekuatan otot.
2. Fraktura tak stabil tanpa defisit neurologis
Bila terjadi pergeseran, fraktura memerlukan reduksi, dan posisi yang sudah lebih baik harus dipertahankan. 
Metoda reduksi antaranya:
a. Traksi
Fraktura servikal paling tak stabil dapat direduksi dengan memuaskan dengan melakukan traksi pada tulang 
elakang servikal memakai sepit (tong) metal (seperti tong Gardner-Well atau Crutchfield) yang dipasang pada 
tengkorak. Beban sekitar 20 kg (tergantung tingkat ruas tulang belakang, mulai sekitar 2.5 kg pada fraktura C1) 
digunakan dalam mengusahakan reduksi.
b. Manipulasi
Dislokasi serta locking dari faset sendi apofiseal servikal mungkin menghambat reduksi fraktura bila hanya 
semata dengan traksi. Manipulasi hati-hati leher dalam anestesi umum dapat membebaskan faset.
c. Reduksi terbuka
Kadang-kadang terhadap faset pada daerah servikal dan toraks diperlukan operasi untuk mengembalikan alignment 
normalnya.
Metoda immobilisasi setelahnya adalah:
a. Ranjang khusus, rangka, atau selubung plester dengan 
pasien dapat dirawat untuk waktu yang lama dengan 
mempertahankan posisi yang telah direduksi bahkan saat 
membalik untuk memandikan atau merawat kulit.
b. Traksi tengkorak. Hanya diperlukan beban sedang 
untuk mempertahankan cedera leher yang sudah direduksi.
c. Plester paris dan splin eksternal lain. Pasien 
dengan cedera servikal nyatanya dapat dimobilisasi 
dengan leher disangga dengan plester paris dalam posisi 
memadai atau dengan splin metal yang dirancang agar 
kepala tetap immobil disaat pergerakan tubuh.
d. Operasi. Fusi secara bedah melintas garis fraktur 
dapat dilakukan. Pada tulang belakang servikal operasi 
dilakukan baik dari depan maupun belakang. Pada daerah 
toraks tulang belakang difiksasi dengan pelat metal dan 
tandur tulang yang menyatukan lamina dengan proses 
spinosus berdekatan.
3. Cedera stabil dengan defisit neurologis
Bila fraktura stabil, kerusakan neurologis diakibatkan 
oleh:
a. Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera 
menyebabkan trauma langsung terhadap kord spinal atau 
kerusakan vaskuler, namun dengan bagian tulang dalam 
konfigurasi yang lebih normal.
b. Tulang belakang sebelumnya sudah rusak akibat 
penyakit sebelumnya seperti pada spondilosis servikal.
c. Fragmen tulang atau diskus terdorong kekanal spinal.
Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan 
neurologis yang tampak pada saat pertama diperiksa. 
Suatu transeksi neurologis lengkap, terbaik dirawat 
konservatif. Pada cedera didaerah servikal, leher 
diimmobilisasi dengan kolar atau sepit (kaliper) dan 
pasien diberi metil prednisolon. Pemeriksaan lebih 
lanjut seperti mielografi atau MRI harus dilakukan bila 
pemeriksaan menunjukkan adanya potensi akan perbaikan 
neurologis. Kesempatan perbaikan pada pasien dengan 
defisit total disaat diperiksa adalah kecil dan semakin 
jauh bila tidak ada perbaikan dalam 48 jam.
Pada cedera neurologis tak lengkap pasien juga 
mulanya dirawat konservatif. Bila kerusakan didasari 
adanya spondilosis servikal, traksi tengkorak digunakan 
disamping pemberian metil prednisolon. Perkiraan atas 
kerusakan dilakukan dan bila perbaikan terjadi dengan 
memuaskan, tidak ada lagi tindakan lain yang diperlukan 
kecuali bila spondilosis yang sudah ada sebelumnya 
memerlukan tindakan bedah. Bila tidak ada perbaikan 
atau ada perbaikan namun diikuti perburukan, dilakukan 
mielografi untuk menampilkan daerah fraktura yang akan 
didekompresi. Dengan kata lain, tindakan konservatif 
memungkinkan kord spinal yang rusak memperlihatkan 
potensinya untuk membaik dan tindakan bedah dilakukan 
pada saat risiko pertambahan defisit neurologis sudah 
dikurangi.
4. Cedera tulang tak stabil dengan defisit neurologis
Bila lesinya total, dilakukan reduksi yang diikuti 
dengan immobilisasi seperti halnya pada seksi 2 dengan 
tambahan perawatan paraplegik. Bila defisit neurologis 
tak lengkap, reduksi dan diikuti immobilisasi sesuai 
dengan jenis cederanya, dan bila diperlukan operasi, 
dekompresi kanal spinal dilakukan pada saat yang sama. 
Setelah setiap tindakan, kebijaksanaan konservativ 
seperti pada seksi 3 dapat diteruskan karena fraktura 
sekarang telah berubah dari tak stabil menjadi stabil.
CEDERA YANG MENYERTAI DAN KOMPLIKASI CEDERA KORD SPINAL
Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan 
penilaian atas cedera lain dan mungkin juga merubah 
respon terhadap terapi. 60% lebih pasien dengan cedera 
kord spinal bersamaan dengan cedera major: kepala atau 
otak, toraks, abdominal, atau vaskuler. Berat serta 
jangkauan cedera penyerta yang berpotensi didapat dari 
penilaian primer yang sangat teliti dan penilaian ulang 
yang sistematik terhadap pasien setelah cedera kord 
spinal. Dua penyebab kematian utama setelah cedera kord 
spinal adalah aspirasi dan syok.
Pengelolaan Hemodinamik
Bila pasien hipotensif, cari sumber perdarahannya dan 
atasi. Syok neurogenik mungkin tertutupi oleh syok 
hemoragik.
Syok neurogenik disebabkan oleh hilangnya aliran 
adrenergik dari sistema saraf simpatetik pada jantung 
dan vaskulatur perifer setelah cedera diatas tingkat 
T6. Terjadi hipotensi, bradikardia, dan hipotermi. Syok 
neurogenik akan lebih mengganggu distribusi volume 
intravaskuler dari pada menyebabkan hipovolemi sejati. 
Atropin, dopamin, atau fenilefrin harus dipertimbangkan 
untuk mengobati syok neurogenik, yang tak berreaksi 
atas penggantian volume intravaskuler.
Syok spinal berbeda dari sindroma fisiologik syok 
neurogenik. Syok spinal menunjukkan kehilangan lengkap 
aktifitas motori, sensori dan refleks segmental dengan 
flaksiditas dibawah tingkat cedera. Keadaan ini mungkin 
berakhir setelah 6 minggu. Bila syok spinal bertahan 
lebih dari 24 jam, prognosis untuk ambulasi betul-betul 
tidak ada. Akhir dari syok spinal akan ditunjukkan oleh 
kembalinya refleks spinal, namun fenomena ini belum 
dimengerti.
Selama fase akut setelah cedera, beberapa jalur 
intravena perifer ukuran besar (no. 16) dan pengamat 
tekanan darah melalui jalur arteri dipasang, dan 
resusitasi air dimulai. Bila pasiennya hipotensif dan 
tak berreaksi atas cairan atau produk darah intravena, 
kateterisasi pada arteri pulmoner merupakan pembantu 
diagnostik untuk membimbing manipulasi terapeutik dan 
untuk membedakan antara mekanisme hipovolemik, kardio-
genik dan neurogenik.
Pengelolaan Respiratori
Disfungsi respirasi bisa terjadi karena kegagalan 
ventilatori akibat hilangnya fungsi neural dengan 
paralisis muskulatur toraks. Mungkin juga karena atau 
eksaserbasi dari beberapa faktor parenkhimal. Tindakan 
terhadap kelainan patologi dan pencegahan terhadap 
kelainan pulmoner sekunder atau didapat sangat penting. 
Pembalikan tubuh berulang, perangsangan batuk, 
pernafasan dalam, spirometri insentif, dan pernafasan 
bertekanan positif yang sinambung dengan masker adalah 
cara mempertahankan ekspansi paru-paru atau kapasitas 
residual fungsional. Tekanan pernafasan positif yang 
sinambung dengan masker merupakan cara optimal untuk 
mempertahankan kapasitas residual fungsional pada 
pasien yang tidak diintubasi. Cara ini digunakan dalam 
usaha mencegah pamakaian ventilasi mekanik.
Pasien dengan saraf frenik intak (C3,4,5) dengan 
trauma kord spinal servikal tengah atau toraks mungkin 
semula tampil dengan gas darah normal dan memburuk atau 
mengalami dekompensata secara akut dengan kegagalan 
pernafasan. Hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori 
dan otot interkostal menimbulkan gangguan pengembangan 
toraks dan menyebabkan atelektasis progresif. Dada 
fungsinya menjadi inkompeten dan kurang compliant.
Gangguan fungsi ventilatori, sekret, dan infeksi 
bronkhopulmoner, serta keadaan lain yang menyebabkan 
eksaserbasi insufisiensi respirasi haruslah ditindak 
efektif. Trakheostomi dilakukan bila pasien tak mungkin 
dilepaskan dari ventilator. Umumnya bila ventilasi 
diperlukan, lebih dari dua minggu.
Pengelolaan Nutrisional dan Gastrointestinal
Pasien dengan cedera kord spinal lengkap dan akut harus 
mendapatkan pemeriksaan CT scan abdomen atau lavasi 
peritoneal bila diduga ada perdarahan atau cedera 
abdominal. Tanda dan gejala cedera abdominal mungkin 
tidak ada pada cedera kord spinal akibat hilangnya 
sensasi. 
Cedera kord spinal akut, terutama pada daerah 
toraks dan lumbar biasanya dengan ileus akibat efek 
mekanik langsung atau hilangnya fungsi neural otonom. 
Ileusnya harus ditindak dengan suction nasogastrik, 
penggantian elektrolit, dan pengamatan status cairan.
Walau paralisis, pasien dengan cedera kord spinal 
jelas dengan peningkatan tingkat metabolisme (50-100% 
diatas normal) dan segera menjadi katabolik. Dianjurkan 
terapi nutrisional dini. Pemberian dukungan nutrisi 
dalam 24 jam sejak cedera menunjukkan pengurangan 
infeksi, trombosis vena dalam, dan komplikasi katabolik.
Pemberian makanan oral atau alimentasi enteral 
lebih disukai. Selang duodenal yang fleksibel dipasang 
dengan bantuan fluoroskopi bila diperkirakan perlu 
hiperalimentasi enteral elemental. Pasien dengan ileus 
atau tidak mampu mentolerasi makanan enteral harus 
segera mendapatkan hiperalimentasi parenteral total 
(TPN). Pencegahan ulkus biasanya dengan antihistamin 
(simetidin, ranitidin) atau antasid.
Pengosongan lambung yang terlambat sesudah cedera 
mungkin menyebabkan pneumonia aspirasi bila pasien 
mendapatkan gastric feeding. Penggunaan duodenal 
feeding mencegah aspirasi. Penambahan zat warna akan 
melacak adanya aspirasi atau refluks.
Cairan makanan hipertonik, penurunan absorpsi 
intestinal, atau keduanya, dapat menyebabkan diare pada 
pasien dengan makanan enteral. Keadaan ini diatasi 
dengan mencoba berbagai konsentrasi formula atau dengan 
menambahkan difenoksilat hidrokhlorida dengan atropin 
sulfat (Lomotil) atau obat sejenis.
Kehilangan fungsi sfingter anal ditindak bila 
ileus dan syok spinal berlalu. Pemberian supositoria 
bisakodil (Dulcolax) dengan dilatasi manual rektal 
memberikan rangsangan untuk kontraksi uniform untuk 
pengosongan “volitional”.
Gangguan Koagulasi
Koagulopati intravaskuler diseminata jarang terjadi 
pada cedera kord spinal terbatas, bila dibandingkan 
dengan cedera kepala berat. Namun pasien paralisis 
mempunyai risiko besar atas terjadinya trombosis vena 
dalam dan emboli paru-paru.
Heparin dosis mini (5000 U subkutan, 2-3 kali 
sehari), ranjang yang berosilasi, ekspansi volume, 
stoking elastik setinggi paha, stoking pneumatik anti 
emboli, antiplatelet serta anti koagulasi dianjurkan 
untuk pencegahan, namun belum ada cara yang superior.
Pengelolaan Genitourinari
Setelah cedera, kandung kemih menjadi atonik secara 
akut. Kateter Foley yang indwelling harus sejak semula 
digunakan untuk mengamati output cairan dan untuk 
mencegah distensi kandung kemih. Kateterisasi berkala 
kandung kemih dimulai setelah keadaan medikal pasien 
stabil dan dilakukan untuk mempertahankan volume 
kandung kencing dibawah 400ml. Kateterisasi intermiten 
dan bersih mengurangi risiko sistitis dan pielonefritis 
pada pasien dengan kandung kemih neurogenik. Antibiotik 
profilaktik tidak dianjurkan, namun infeksi spesifik 
harus segera diobati. 
Ulkus Dekubitus
Segera terbentuk pada pasien paralisis akibat tekanan 
langsung pada dermal, kurangnya perfusi jaringan, dan 
kurangnya mobilitas. Busa atau kulit kambing penyangga 
tonjolan tulang, pemutaran tubuh berulang, perawatan 
kulit yang baik, dan ranjang berosilasi atau udara, 
dapat membantu pencegahan ulkus dekubitus. Pencegahan 
komplikasi kulit adalah sangat penting.
Pengelolaan Pasien Paraplegik
Penderita cacad paraplegik terbukti banyak yang dapat 
kembali aktif dan gembira sebagai anggota masyarakat, 
berperanan dirumah, dilingkungan serta dipekerjaan. 
Perawatan dikelompokkan kedalam:
1. Respirasi. Peran utama saraf frenik adalah pada 
tingkat C4 dan cedera servikal tengah dapat berpengaruh 
pada fungsi diafragma baik pada satu maupun kedua sisi. 
Defisit yang ditimbulkannya bisa temporer atau menetap. 
Pada tahap awal pasien mungkin memerlukan ventilasi dan 
tube endotrakheal yang dipasang sebagai tindakan gawat 
darurat harus diganti dengan trakheostomi sesegera 
mungkin. Sebagai tambahan pada pernafasan artifisial 
adalah kemungkinan aspirasi yang efisien terhadap 
sekresi paru-paru dan mencegah terjadinya bronkho-
pneumonia. Perbaikan keadaan neurologis memungkinkan 
pasien untuk dilepas dari ventilator untuk selanjutnya 
menutup trakheostomi.
2. Kulit. Kulit yang anestetik pada pasien paraplegik 
menyebabkan sakrum, trokhanter major dan tumit cepat 
menjadi merah dan ulserasi bila perawatan terlantar. 
Pikirkan bahwa semua bed sores dapat dicegah bila tidak 
ada defek intrinsik pada kulit yang akan menjadi sumber 
luka. Pasien harus dibalik setiap dua jam dan apapun 
cara yang digunakan untuk mengimmobilisasi pasien pada 
fraktura tak stabil, harus tetap efektif saat merubah 
posisi.
3. Kandung kemih. Cedera akut kord spinal mengakibatkan 
periode syok spinal yang berakhir dalam beberapa hari 
hingga beberapa minggu, disaat mana aktifitas semua 
refleks dibawah tingkat lesi akan menghilang. Kandung 
kencing berekspansi tanpa disertai adanya nyeri dengan 
tiadanya refleks untuk mengosongkannya hingga terjadi 
inkontinensia overflow dan dribbling. Bila syok spinal 
berlalu, aktifitas refleks pulih dan sebagian usaha 
untuk mengosongkan kandung kemih dimulai. Bila kauda 
ekuina mengalami transeksi, maka tidak ada harapan 
pengosongan secara refleks karena muskulatur kandung 
kemih terputus dari pusat refleks dikord spinal bawah. 
Harapan diberikan pada sebagian aktifitas otot detrusor 
intrinsik, digabung dengan kompresi manual yang akan 
mengosongkan kandung kemih secara lengkap dan teratur.
Sasaran semua cara perawatan dini kandung kemih 
pada pasien paraplegik adalah agar pasien dengan jalur 
kencing yang steril mampu mengosongkan kandung kencing 
secara sempurna pada selang waktu yang sesuai tanpa 
adanya stasis atau retensi air kencing yang mungkin 
akan menimbulkan hidronefrosis atau pielonefritis.
Ada dua cara selain yang dijelaskan diatas untuk 
pengelolaan dini pada kandung kencing paraplegik: 
a. Kateterisasi intermiten dilakukan dalam cara steril 
menggunakan teknik aseptik (sering oleh dokter) tiga 
kali sehari hingga refleks atau pengosongan manual yang 
efektif dapat dicapai.
b. Kateter indwelling kecil dan non iritan dipasang dan 
sistem tertutup penampungan kencing secara sinambung 
atau berkala dilakukan hingga risiko infeksi asenden 
dapat ditekan. 
Tindakan bedah kemudian atas leher kandung kencing 
serta sfingter eksternal mungkin diperlukan untuk 
mendapatkan pengosongan yang efektif. Bila ternyata 
tidak mungkin didapat dengan cara ini, mungkin perlu 
untuk melakukan cara lain untuk mengalirkan dan 
menampung air kencing seperti ureterostomi atau aliran 
keileal.
4. Berak. Sasaran untuk mendapatkan pengosongan rektum 
teratur dan terperkirakan tanpa inkontinensia atau 
mendadak. Ini memerlukan tambahan diet dengan sejumlah 
serat serta penggunaan laksatif, suppositori dan enema 
reguler.
5. Anggota gerak. Penting bahwa anggota yang paralisa 
harus secara teratur mendapatkan pergerakan pasif untuk 
mencegah kekakuan sendi. Kontraktur yang disebabkan 
perbedaan spastisitas kelompok otot berlawanan harus 
dicegah dengan latihan sesuai, medikasi, akhirnya 
pemisahan tendo tertentu.
6. Nutrisi umum. Perlu mempertahankan masukan berkalori 
tinggi untuk mencoba dan menekan akibat dari keadaan 
katabolik yang tak dapat dielakkan yang terjadi pada 
pasien bersangkutan pada masa segera setelah cedera.
Rehabilitasi Pasien Paraplegik
Rehabilitasi dan mempersiapkan pasien untuk mandiri 
harus dimulai segera setelah pengelolaan frakturanya 
memungkinkan. Keberhasilan rehabilitasi ditentukan oleh 
ambisi mental dan fisiknya ketingkat kenyataan tanpa 
kehilangan rasa kepercayaan diri dan kehormatannya.
1. Rehabilitasi fisik
Meningkatkan penggunaan kelompok otot yang berfungsi:
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang 
masih aktif pada lengan atas dan batang tubuh.
b. Pembiasaan terhadap alat dan perangkat rumah tangga 
hingga mereka dapat memanipulasinya dengan cara-cara 
tertentu.
c. Perlengkapan splint dan kaliper.
d. Transplantasi tendon.
Perbaikan mobilitas:
a. Latihan dengan kaliper dan kruk untuk pasien cedera 
tulang belakang bawah.
b. Latihan kursi roda untuk pasien dengan otot tulang 
belakang dan tungkai tak berfungsi.
c. Kendaraan khusus untuk dijalan raya.
2. Rehabilitasi psikologis
Pertama dimulai agar pasien segera menerima ketidak-
mampuannya dan merancang kembali keinginan dan rencana. 
Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri 
datang dari ketidakpastian finansial, sosial serta 
seksual yang semuanya memerlukan semangat, hal-hal yang 
menjamin dan bantuan.
3. Penerimaan dirumah
Pelebaran pintu, pengadaan ram dan bahkan perancangan 
kembali rumah agar memudahkan pasien dengan kursi roda. 
Perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan 
dapur hingga menghilangkan ketergantunag pada orang 
lain.
4. Latihan untuk pekerjaan
Pasien yang bekerjanya duduk mungkin hanya memerlukan 
sedikit pengaturan. Yang bekerja dengan mobilitas yang 
lebih tinggi atau kerja fisik harus dilatih dalam 
keterampilan baru dan didaftarkan sebagai orang cacad 
hingga dapat kembali kepekerjaan bermanfaat.
Tanda dan Gejala
kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dankandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.setelah shock spinal pulih kembali, akanterdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit keringkarena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dangangguan defekasi (Price &Wilson (1995). Sindrom sumsum belakang bagian depanmenunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dansuhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu (Price &Wilson (1995).Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadiakibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbanganyang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese parsial.gangguan pada ekstremitas atas lebih ringandaripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak terganggu (Aston. J.N, 1998) 
kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia perianal,gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa (Aston. J.N, 1998).
Sistem Saraf Tepi
Sistem saraf tepi terdiri dari sistem saraf sadai dan sistem saraf tak sadar (sistem saraf otonom). Sistem saraf sadar mengontrol aktivitas yang kerjanya diatur oleh otak, sedangkan saraf otonom mengontrol aktivitas yang tidak dapat diatur otak antara lain denyut jantung, gerak saluran pencernaan, dan sekresi keringat.
Sistem saraf tepi terdiri dari sistem saraf sadai dan sistem saraf tak sadar (sistem saraf otonom). Sistem saraf sadar mengontrol aktivitas yang kerjanya diatur oleh otak, sedangkan saraf otonom mengontrol aktivitas yang tidak dapat diatur otak antara lain denyut jantung, gerak saluran pencernaan, dan sekresi keringat.
Algortima Dasar Pertolongan Pertama pada Gawat Darurat
a. Ada pasien tidak sadar
Terkadang di jalan ada beberapa orang yang tergeletak di jalan begitu saja. Mereka mungkin memerlukan bantuan Anda. Jika hal itu terjadi maka Anda harus menolong mereka. Hal yang bisa Anda lakukan adalah menghubungi orang terdekat untuk juga menolong mereka.
b. Pastikan  kondisi  tempat  pertolongan  aman  bagi pasien dan penolong
Setelah Anda memberitahukan kepada lingkungan kalau Anda akan berusaha menolong, maka pindahkan pasien ke tempat lain. Tempat yang aman bagi pasien dan bagi penolong. Tempat yang aman bagi pasien dan penolong misalnya tempat yang tidak membahayakan. Misalnya jika orang yang perlu kita tolong berada di jalan, maka bawalah dia ke tempat yang lebih aman misalnya ke rumah penduduk setempat.
c.  Cek kesadaran pasien.
 Lakukan dengan metode AVPU, yakni :
A (Alert): Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
V (Verbal): Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di telinga korban. Pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau menyentuh pasien, jika tidak merespon lanjut ke P
P (Pain): Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah menekan bagian putih dari kuku tangan di pangkal kuku. Selain itu dapat juga dengan menekan bagian tengah tulang dada atau sternum dan juga areal di atas mata.
U (Unresponsive): Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi maka pasien berada dalam keadaan unresponsive.
A (Alert): Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
V (Verbal): Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di telinga korban. Pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau menyentuh pasien, jika tidak merespon lanjut ke P
P (Pain): Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah menekan bagian putih dari kuku tangan di pangkal kuku. Selain itu dapat juga dengan menekan bagian tengah tulang dada atau sternum dan juga areal di atas mata.
U (Unresponsive): Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi maka pasien berada dalam keadaan unresponsive.
d.  Call for Help.
Mintalah bantuan kepada masyarakat di sekitar untuk menelpon ambulans ( umumnya pada nomor telepon 118 ) dengan memberitahukan :
1. Jumlah korban
1. Jumlah korban
2. Kesadaran korban sadar atau tidak sadar.
3. Perkiraan usia dan jenis kelamin misalnya lelaki muda atau ibu tua.
4. Tempat terjadi kegawatan meliputi alamat yang lengkap yang mudah ditunjukkan.
e. Membuat Korban Senyaman Mungkin.
Saat Anda sudah berusaha menelpon ambulan maka hal yang harus Anda lakukan adalah membuat nyaman pasien. Hal itu dapat dilakukan dengan cara bebaskanlah korban dari pakaian di daerah dada dengan membuka kancing baju bagian atas agar dada terlihat. Setelah itu posisikan diri di sebelah korban, usahakan posisi kaki yang mendekati kepala sejajar dengan bahu pasien.
Saat Anda sudah berusaha menelpon ambulan maka hal yang harus Anda lakukan adalah membuat nyaman pasien. Hal itu dapat dilakukan dengan cara bebaskanlah korban dari pakaian di daerah dada dengan membuka kancing baju bagian atas agar dada terlihat. Setelah itu posisikan diri di sebelah korban, usahakan posisi kaki yang mendekati kepala sejajar dengan bahu pasien.
f. Mengecek apa yang diderita korban.
Jika Ambulan tidak kunjung datang maka ceklah sendiri apakah ada tanda-tanda berikut :
Jika Ambulan tidak kunjung datang maka ceklah sendiri apakah ada tanda-tanda berikut :
1.  |    luka-luka dari bagian bawah bahu ke atas(supra darkula)  |   
2.          |    pasien mengalami tumbukan di berbagai tempat, misal terjatuh dari sepeda motor. berdasarkan saksi pasien mengalami cedera di tulang belakang bagian leher.  |   
g. Mengartikan tanda-tanda yang diderita korban
Tanda-tanda yang diderita korban misalnya terjadi luka pada tulang belakang bagian leher (cervical). Cedera pada bagian ini sangat berbahaya karena di sini terdapat. syaraf yang mengatur fungsi vital manusia yakni nafas dan denyut jantung. Jika Anda bisa menanganinya maka Anda dapat mencobanya. Namun jika tidak maka Anda tidak perlu melakukan apapun. Anda tinggal menunggu ambulan atau Anda meminta tolong yang lain bisakah merawat apa yang diderita korban.
Jika tidak ada tanda-tanda cedera tersebut maka lakukanlah Head Tilt and Chin Lift. Chin lift dilakukan dengan cara menggunakan dua jari lalu mengangkat tulang dagu ke atas. Ini disertai dengan melakukan Head tilt yaitu menahan kepala dan mempertahankan posisi. Ini dilakukan untuk membebaskan jalan nafas korban.
JiKa ada tanda-tanda tersebut, maka beralihlah ke bagian atas pasien, jepit kepala pasien dengan paha, usahakan agar kepalanya tidak bergerak-gerak lagi (imobilisasi) dan lakukanlah Jaw Thrust. Gerakan ini dilakukan untuk menghindari adanya cedera lebih lanjut pada tulang belakang bagian leher pasien.
h. Melakukan Pemeriksaan
Sambil melakukan treatment di atas, lakukanlah pemeriksaan kondisi jalan nafas dan pernafasan pasien.
i. Metode pengecekan menggunakan metode look, listen and feel.
Look : Lihat apakah ada gerakan dada yakni gerakan bernafas, apakah gerakan tersebut simetris atau tidak.
Listen : Dengarkan apakah ada suara nafas normal, dan apakah ada suara nafas tambahan yang abnormal. Nafas tambahan yang abnormal bisa timbul karena ada hambatan sebagian.
j. Periksalah jalan nafas
Periksalah jalan nafas pasien. Jika ternyata pasien masih bernafas, maka hitunglah berapa frekuensi pernafasan pasien itu dalam 1 menit. Pernafasan normal adalah 12-20 kali permenit.
k. Periksa kembali nada karotis
Anda perlu mengecek kembali nadi karotis. Ini dilakukan dengan metode seperti di atas selama 10 detik, jika teraba lakukan look listen and feel lagi. Jika tidak teraba ulangi lagi.
l. Setelah berhasil mengamankan kondisi diatas periksalah tanda-tanda shock pada pasien :
Denyut nadi > 100 kali per menit Telapak tangan basah dingin dan pucat Capilarry Refill Time > 2 detik. CRT dapat diperiksa dengan cara menekan ujung kuku pasien dengan kuku pemeriksaan selama 5 detik, lalu lepaskan, cek berapa lama waktu yang dibutuhkan agar warna ujung kuku merah lagi.
m. Jika pasien shock, lakukan shock position pada pasien,yaitu dengan mengangkat kaki pasien setinggi 45 derajat dengan harapan sirkulasi darah akan lebih banyak ke jantung.
n. Pertahankan posisi shock sampai bantuan datang atau tanda-tanda shock menghilang.
o. Jika ada pendarahan pada pasien, cobalah hentikan pendarahan dengan cara menekan atau mengikat luka. Dalam mengikat jangan terlalu erat karena dapat mengakibatkan jaringan yang diikat mati
p. Setelah kondisi pasien stabil, tetap monitor selalu kondisi pasien dengan look, listen and feel, karena pasien sewaktu-waktu dapat memburuk secara tiba-tiba.
catatan : ini dimbil dari beberapa artikel maupun blog yang tersedia di google .. trimakasih atas ilmunya :)



0 komentar:
Posting Komentar